Senin, 01 Desember 2008

SEMACAM PENGALAMAN DI RUSIA OLEH MR. ARDI

ARTIKEL SUMBANGAN DARI NING AI-RATNA


Perjalananku kesini bisa dibilang tidak mudah. Begitu banyak cobaan dan tantangan, mulai dari kedatangan di moskow sampai ke ekatrinburg. Jujur aku merasa beruntung ditempatkan di kota ini. Bukan sekedar karena ini kota terbesar ketiga di Rusia ataupun indah. Tapi kota ini begitu ramah. Kota ini menyadarkanku akan kehadiran Tuhan.

Beberapa kali aku bercerita kepada teman-teman via chating tentang bagaimana perjalananku. Perjalanan yang penuh tantangan dan sport jantung . Hampir 50 persen orang penerima beasiswa dari Indonesia di rusia pulang sebelum lulus, beberapa diantaranya bahkan pulang sebelum tau dimana tempat sekolahnya.

Rusia bukan negara yang ramah seperti negara lainnya. Aku sempat membuktikannya di moscow. Mungkin kemajuan yang terlalu cepat serta pengalaman perang berkali kali membuat bangsa ini jadi cepat curiga dengan bangsa asing. Tapi di Ekatrinburg ini aku sadar bahwa banyak juga orang rusia yang ramah.

Kedatanganku di domodedovo, airport international Moscow bukan tanpa halangan. Kami ditipu orang.. Kami diperas oleh oknum disini. Hal itu menyebabkan aku bertiga terdampar di KBRI Moscow selama 3 hari. Di KBRI aku dan 3 temanku di tampung di bunker yang sebenarnya mirip dengan gudang yang dikasih kasur. Sampai akhirnya setelah nota protes dikirim oleh KBRI ke kementerian pendidikan. Aku nekad untuk melanjutkan perjalananku di kota ekaterinburg.

Sementara aku melanjutkan perjalananku di kota ekaterinburg. 2 orang temanku, yang juga dosen brawijaya pulang ke Indonesia. Mereka keder mental.. Rusia ternyata tak seindah bayangan mereka. Ini adalah negara karbitan setelah hancur lebur 17 tahun yang lalu. Prestasi rusia dalam 8 tahun terakhir ini memang hebat. Ibarat anak yang masuk kelas akselerasi, maju di satu sisi tapi di sisi lain masih stag. Begitulah Mr. Putin, yang hanya dalam 8 tahun bisa memasukkan Rusia ke dalam jajaran G-8, negara-negara maju dan elit dunia. Namun Rusia punya sisi yang lain, masyarakatnya sendiri masih shock mental dengan perubahan yang begitu cepat.

Moskow sendiri bukan kota yang ramah. Orang-orangnya sedikit arogan dan keras. Jangan harap pembeli bisa dilayani. Apalagi pembeli asing, bisa jadi mainan mereka. Harga bisa dinaikkan seenaknya kalau tau kita nggak tau bahasa rusia. Aku sudah membuktikannya.

Perjalanan di kereta juga bukan perjalanan yang mudah. Aku berangkat naik kereta trans siberia sendiri. Tidak ada orang yang bisa berbahasa inggris di kereta. Membacapun masih mengeja. Aku mendadak jadi orang yang tuli dan bisu. Perjalanan selama 26 jam yang penuh dengan dzikir. Ekatrinburg juga bukan pemberhentian terakhir. Mau pipis juga bingung. Sementara ketika aku bilang "tualet! tualet!... pramugarinya bilant "Nye" alias tidak, dan sederet kata-kata yang tak kumengerti. Terpaksa aku tunjuk "barangku" tapi dia tetap bilang "nye". Syukurlah 30 menit kemudian aku bisa pipis. Mungkin tadi masih dibersihkan.

Di perjalananpun batere HPku drop. Dalam hati aku berkata, "ya Allah kalau memang aku kau tadirkan selamat... itu adalah kehendakmu. Tapi bila memang takdirmu aku harus nyasar ataupun tidak selamat... aku ikhlas di Jalanmu". Aku tidak pernah sepasrah itu mas.

Aku tiba selamat di ekatrinburg malam hari. Pramugari itu menunjuk jam dari angka 12 sampai ke 9. Artinya 45 menit lagi aku sampai di Sverdlovsk, stasiun kereta di ekatrinburg. Ketika turun, ada kecemasan kalau ada skinhead malam-malam di stasiun. Tapi banyak keajaiban. Keajaiban pertama, Aku tiba-tiba kuat mengangkat koper 30 KG yang sebelumnya tidak bisa kuangkat sendiri. Dan ajaib pula, di stasiun aku bertemu dengan dima (nama panggilan untuk dimitri), orang rusia yang begitu baik dan bisa berbahasa inggris. Dia membantuku untuk mengangkat beban barang bawaanku dan mengantarkanku sampai ke pintu asrama. Dimitri memecahkan mitos arogansi orang Rusia. Orangnya ramah. Dia memberiku roti baton yang panjangnya hampir setengah meter.

Banyak mahasiswa indonesia yang pulang karena mendapatkan kondisi asrama yang tua dan jorok. Dan aku sendiri juga sudah mendengarnya dari teman teman pemira (perhimpunan mahasiswa rusia) dan juga beberapa diplomat senior di KBRI. Mereka bilang jangan berharap banyak dengan asrama di rusia. Kondisinya jauh lebih parah dari pesantren salaf. WC berjamaah dan kamar mandi air panas yang dijadwal untuk laki dan perempuan seminggu sekali. Jangan bayangkan WC sendiri, WC itu satu koridor tanpa sekat. Kamar mandi pun juga tanpa sekat. Bugil satu bugil semua.

Orang orang KBRI dan juga pemira bilang dengan sinis bahwa itulah kamar mandi ala komunis, “sama rata sama rasa”. Hal inilah yang kemudian membuat 2 temanku dari brawijaya pulang kembali, walaupun dekan mereka sudah melarang, karena akan jadi skandal universitas. 3 orang Indonesia yang seharusnya jadi temanku di Ural state university, batal berangkat ke rusia, karena ketakutan dengan kondisi rusia. Tak hanya itu Rosyadi pun pulang ke Indonesia setelah menjalani asrama yang buruk dan kehidupan yang berat di Moscow.

Aku sendiri... Sejak dari aku berangkat masuk pintu pesawat di Indonesia, aku sudah pasrah. Kuniatkan jihad.. Apapun yang terburuk... aku sudah manteb. 

Dan beginilah perasaanku ketika sampai pintu asrama. Aku sudah ikhlas. Apapun... sejorok apapun... akan kujalani. Pantang pulang sebelum menang.

Aku berusaha untuk menekan perasaan jijik karena kamar mandi. Untuk apa takut dengan kotoran orang lain kalau kotoran sendiri kita saja sama kotornya dengan kotoran orang lain. Untuk apa takut dengan bau kotoran orang jika kotoran kita sendiri sama baunya dengan kotoran orang. Jika memang itu terjadi... apa boleh buat. Mau tidak mau memang toh itu harus dijalani. Kupikir manusia memang cukup adaptif. Apapun kondisi, selama ada kemauan dan tekad bulat, maka apapun akan bisa dilewati.Kuanggap ini adalah perang, ini adalah jihad. Dan semua itu bukan dimulai dari sesuatu yang fenomenal besar, tapi justru dimulai dari berkompromi dengan rasa jijik terhadap kotoran manusia. Tidak ada yang istimewa dari orang yang bisa menaklukkan orang lain, karena tak ada orang yang lebih hebat selain orang yang bisa menaklukkan dirinya sendiri.


Ketika aku sampai di depan pintu Kamarku (masih belum masuk kamar)... fuhhh. sungguh sedikit orang yang menyadari bahwa kamar adalah teman terdekat kita. Interaksi kita dengan kamar tak sedekat interaksi kita dengan tempat lainnya. Bank mungkin hanya sesekali dalam sepekan atau sebulan kita berkunjung, tapi kamar adalah tempat berlindung. Begitu banyak ia menjadi saksi perjuangan, kelelahan, kesedihan hingga kegembiraan kita. Begitu juga kamar mandi... ia adalah tempat membuang sesuatu yang tidak diharapkan oleh tempat lain.. Kamar mandi adalah sahabat. Wajar jika 2 temanku pulang ke
Indonesia, gara gara kamar mandi. Bila orang yang harus kita kunjungi setiap hari saja tidak nyaman, bagaimana kita juga bisa hidup nyaman dan tenang.

Dan inilah jawaban atas bayanganku tentang kamar dan kamar mandi di Ural State University.


Tempatku tinggal persis seperti flat-flat yang pernah kulihat di
jakarta. 1 tempat terdiri dari 2 kamar, 1 dapur, dan 1 kamar mandi dan WC kering. Ukuran kamarku sekitar 5 X 5 meter. Di kamarku sudah ada meja belajar, rak buku, dipan, dan lemari besar yang menyatu dengan tembok. Lantainya terbuat dari kayu, dindingnya pun dipasangi walpaper yang indah. Kemudian aku intip kamar mandi dengan shower serta WC yang bersih. Wastafel, tempat cucian piring, dan kamar mandi juga dilengkapi air panas. Kulihat kemudian dapur, isinya, lemari dapur, kompor, oven, dan kulkas. Mengetahui kamarku seperti itu... Aku menangis mas... menangis tak henti. Tak henti aku bersyukur kepada Allah. Semua di luar dugaanku. Benar kata pak Berlian, diplomat senior KBRI, asrama Ural State University adalah asrama terbaik di Rusia setelah MGU.Dan ternyata bagusnya kamar disini adalah fasilitas khusus untuk mahasiswa internasional yang gratis tis tis. Tak seperti di RUDN (tempat kuliah Rosyadi) yang walaupun jorok tetap bayar sewa kamar sebesar 500ribu rupiah setahun. Tapi yang membuat aku menangis adalah tak sekedar karena kamar yang baik, tapi juga karena mendapatkan teman yang baik dan bisa sampai dengan selamat di ekatrinburg.

Aku bertemu dengan orang-orang
korea selatan yang sungguh baik. Aku tidak bisa membayangkan gimana aku bisa hidup disini tanpa mereka. Malam pertama aku datang, aku berkenalan dengan dua orang korea, yang bernama junhak dan sewook. Mereka main ke kamarku di hari pertama aku datang. Bahasa inggrisnya pas-pasan. Melihat barang bawaanku yang cuma seadanya itu. Mereka kembali ke kamarnya dan memberikan aku selimut, seprei, susu, jus mangga, dan makanan ringan. Besoknya pun aku diajak makan pagi. Dan diantar jalan-jalan ke megamart untuk membeli barang kebutuhan yang murah. Diajari ke metro (subway), diajari naik trem, dan diajak ke toko buku.

Perkenalan dengan orang korea itu merembet dengan semua orang korea selatan yang ada disini. Jumlah totalnya 20 orang. Mungkin karena melihat aku ngirit (karena waktu diantar belanja aku cuma belanja seadanya), Mereka akhirnya seringkali mengundangku makan malam. Disana mereka pisahkan mana yang babi dan mana yang tidak. Sungguhpun sebagian dari mereka adalah agnostik, tapi mereka juga yang tunjukkan mana arah kiblat.

Pernah ketika pulang kuliah, aku mbatin dinginnya udara disini. Sebenarnya masih standard, tapi kalau angin datang ... aduh kulit langsung merah. Mereka ngeliat tanganku yang mendadak merah gara-gara angin dingin. Orang korea itu datang ke kamarku... ngasih aku sweater tebal.

Orang korea itu bilang, walaupun di negaranya ada winter dan biasa dengan suhu minus 15 derajat, tapi rusia tetaplah dingin. Anginlah yang membuat semua menjadi dingin. Kalau mereka yang biasa dengan winter saja dingin, apalagi aku yang dari negara tropis. Padahal suhu disini masih plus dua derajat.. Suhu paling ekstrem disini adalah minus 40 derajat.

Harga disini bisa dibilang sama dengan surabaya. harga ayam murah, harga daging murah.. Yang berbeda adalah sayur mas. Sayur harganya selangit. Bisa 10-30 kali lipat dari harga di Indonesia. Sayur sangat jauh lebih mahal dari ayam dan daging. Bersyukurlah dengan nikmat matahari dan bersyukurlah dengan nikmat sayur yang ada di Indonesia mas. Walaupun aku juga bersyukur dengan nikmat daging dan susu disini yang murah-murah... hehehehe.

Seminggu yang lalu, ada salah satu dari orang korea selatan itu ulang tahun. Namanya Byung Hyun. Aku diundang. Tak ada mereka meremehkan aku. Aku disambut seperti saudara senegaranya. Sungguhpun aku satu satunya yang bukan orang korea selatan. Cuma ada 2 orang dari mereka yang bisa berbahasa inggris dengan baik. Yang lain sangat pas pasan, dan ada yang tidak bisa sama sekali. Di acara itu, Aku disuruh cerita tentang indonesia. Myeong seok kebetulan jadi translatorku. Banyak mereka yang tidak tahu indonesia. Disana oleh Eun Chang, aku disuruh buat puisi cinta dengan bahasa indonesia untuk dikasih ke pacarnya di korea. Kata kata "aku cinta kamu" juga di hafal baik baik. Kadang aku mbatin siapa aku? Indonesia jauh tertinggal dari korea, uang sakupun jauh dibawah mereka yang rata rata punya uang 1000 USD perbulan. Tapi mereka begitu baik. Kebaikan orang korea itu tak terbalas.

Kebaikan itu tak berhenti sampai disitu saja.. Aku jujur sempat stress disini ketika tahu bahwa bahasa pengantar untuk kelas bahasa adalah dengan bahasa rusia. Aku jadi kambing congek di kelas. Jadi yang terbodoh. Asal mas tahu, sebagian besar mahasiswa indonesia pulang tidak hanya karena asrama yang jorok dan dingin, tapi juga karena bahasa. Mereka, orang orang asing, yang datang kesini rata-rata sudah mempelajarinya selama 1-2 semester, baru setelah itu mereka ikut kelas persiapan bahasa di rusia.

Tapi orang korea itu selalu membantuku, walaupun bahasa inggris mereka buruk. Mereka membantu untuk mentraslatekan ke aku. Menggambari bukuku kalau aku tidak mengerti. 4 hari diawal aku disini, aku benar benar stress karena bahasa. Bahasa rusia itu mengenal gender, punya dua macam huruf yang berbeda, tapi mereka membantuku dengan total.

Kalau aku pulang dari kampus... dan mematung berdiri di depan taman asrama sambil merokok karena stress tidak mengerti satu katapun di kelas. Mereka biasanya datang menepuk-nepuk pundakku dan bilang “niciwo niciwo... patom ti panyimaes alias its okay.. take it easy.. nextimes u will understand”. Malamnya, orang-orang korea itu selalu mengundang aku ke kamarnya untuk belajar. Sungguhpun mereka juga kesulitan untuk menjelaskan, karena bahasa inggris yang payah, tapi mereka menjelaskannya dengan usaha keras. Mereka buka kamus inggris-korea-rusia + gambar. Sungguh baik. Mengharukan. Kadang jika Myeong Seok dan Na Yong (dua orang korea yang fasih bahasa inggris) sedang di asrama, maka dia juga membantuku.

Orang-orang korea itu mengajarkan kepadaku bahwa kendala bahasa tak pernah membuat orang berhenti untuk memberi. Orang korea selatan itu , gak cowok, gak cewek... semuanya, sungguh baik. Yoori dan Miina, mahasiswi korsel, yang sangat fasih berbahasa rusia tapi tidak bisa bahasa inggris, selalu nyemangatin aku, walaupun yang aku mengerti dari bahasanya hanyalah kata niciwo sambil tepuk-tepuk pundakku. Yoori selalu mengajak aku ngomong dengan bahasa rusia, sungguhpun aku tidak mengerti. Na Yong, mahasiswi filologi, yang selalu SMS menguatkan, bahwa aku ndak sendiri disini. Junhak, Se Wook, dan Byung Hyun selalu antarkan aku kemana-mana. Bahkan sempat bolos kuliah untuk antarkan aku registrasi dan temui pejabat universitas. Dan juga semuanya... semuanya sangat baik.

Pastinya, setiap datang ke kamar mereka untuk belajar, kopi, coklat, dan seluruh makanan itu keluar disuguhkan kepadaku. Kalau mereka main ke kamarku pun. Mereka selalu membawa makanan. fuhhh... Aku ndak akan bisa balas kebaikan mereka. Mungkin satu saat aku mau masak masakan indonesia.... dan undang mereka semua. Cuma itu yang bisa kulakukan. Pastinya aku harus nabung dulu.

Dua minggu ini, setiap hari sabtu, Aku juga diajak main futsal oleh orang orang korea itu. Aku dimasukan tim korea selatan melawan tim USA dan turki. Sungguhpun aku cuma kuat main 10 menit karena stamina terbatas (efek merokok), mereka cuma tertawa. Disini ada 9 mahasiswa amerika. Rata-rata mahasiswa Amerika disini ngambil jurusan astrophysics dan filologi.

Sekarang aku sudah sedikit tau tentang gramatika rusia. Adalah penting untuk tau bentuk dasar gramatika rusia sebelum menghafal kata-kata, karena banyak sekali perubahan disana-sini ketika dijadikan kalimat. Aku juga sudah bisa menulis 2 jenis huruf itu walaupun masih lambat. Di kelas sudah bisa mengerti satu patah dua patah kata. Walau masih parah, tapi ini sangat kusyukuri. Insya'Allah.... Lambat laun aku akan yakin tau semuanya..

Pernah suatu saat aku belanja sendiri. Biasanya mereka kalau mau belanja selalu jemput aku, untuk tanya aku mau belanja atau tidak. Tapi waktu itu, aku butuh banget belanja. Aku ndak enak ngrepotin orang korea itu kalau mau belanja. Sudah terlalu banyak mereka membantuku. Fatal.. aku dibuat bingung oleh penjualnya. Ternyata dia menawarkan tas kresek. Karena aku ga tau aku bilang saja "nye" alias tidak. Disini tas kresek itu bayar mas sebagai ongkos lingkungan, karena tas kresek itu susah diurai alam. Aku bingung kemudian gimana membawa barang bawaanku. Lagi-lagi orang korea itu menyelamatkan aku. datang lagi. datang lagi.

Pernah juga aku ditahan penjaga asrama, karena dia baru pertama melihatku. Disuruh menunjukkan dokumen, sementara pasporku masih di registrasi di universitas. Dia ngomong apa, aku juga ndak ngerti. Lagi lagi kebetulan Junhak datang. Kemarin Se Wook bantu aku untuk registrasi internet di kampus, sehingga aku bisa internetan di kamar. Antarkan aku ke kantor pusat untuk ambilkan kartu mahasiswa. Begitu juga dengan Byung Hyun yang ajarkan aku untuk isi pulsa. Pulsa disini gak ada yang penjualnya, tinggal masukan uang di mesin elektronik kayak ATM lalu ikuti petunjuk. Petunjuknya tentu saja dengan huruf terbalik-balik.Pusing... hehehehe 



Di indonesia, aku tidak pernah mendapat bantuan seperti itu. Aku menemukan Tuhan disini lewat tangan mereka. Aku jadi kuat untuk hidup disini. Aku bertekad tidak akan pulang sebelum lulus.




Karakter orang korea ini tak kudapatkan dari teman-teman dari negara lain. Orang RRC misalnya, mereka cuma kumpul dengan teman teman senegaranya. Bahkan ada orang RRC yang resek di kelasku. Orang RRC ini pernah tinggal di malaysia. Waktu aku kenalan, masak dia bilang... "oh indonesia... I dont know indonesia. I just know Malaysia.. Malaysia is near Singapore".... Hahahaha kurang ajar. Pernah di kelas... kebetulan 3 orang korea yang sekelas sama aku itu bolos semua, gara gara teler vodka. 2 orang amerika yang barengan aku di kelas bahasa juga pas bolos. Aku bingung mau tanya sama siapa. Aku tahu si RRC itu tau bahasa inggris. Karena dia sering menjelaskan ke Bob dan Abe, mahasiswa amerika yang di kelas bahasa. Waktu aku tanya ke orang RRC itu dan minta tolong jelaskan ke bahasa inggris. Masak dia bilang, "I dont speak english". Bangsat benar! Mungkin mukaku mirip TKI yang jadi pembantunya di Malaysia. Hahahahahaha. Tapi aku berusaha untuk tidak membenci mas. Kuanggap semua itu lucu saja. Masih banyak orang yan g begitu baik disini. Ada juga sih orang RRC yang baik. Tapi yang jelas orang-orang korea itu sangat baik. 



Oya ada satu hal lagi ciri khas orang RRC. Ya ga di indo ya gak di rusia, ternyata mereka punya karakter mirip. Tau apa? Dagang! Kalau lihat kamar mereka ya banyak barang dagangan. Hehehehehe. Tapi lagi-lagi itu ga semua.

Tapi Alhamdulillah ya mas.. Bos Ino ga dagang. Buktinya aku sering dikasih makanan gratis. Salam ya buat bos ino.Sampaikan terimakasih atas semangat dan SMS-nya sebelum berangkat. Aku betah disini. 



Pernah satu ketika, aku mbatin dalam hati. Ya Allah... aku pingin ke masjid. Sorenya, kamarku di ketok orang. Aku kaget ternyata ada orang rusia datang mencariku. Dia tau dari temannya kalau ada orang muslim indonesia datang. Dia cari kamarku dan membawa makanan. Aku dipeluk erat banget. Dia bilang Assalamu'alaikum dan Jazakillah. Dia sama sekali tak bisa bahasa inggris. Komunikasi cuma pakai kamus dan bahasa tubuh. Aku barusan merasakan gaya komunikasi seperti itu. Aku diajaknya ke masjid. Dia bukan orang migran. Asli darah rusia, dan muslim, namanya Radjik. Khas orang rusia muslim jika tau bahwa kita muslim mereka akan memeluk erat. 



Disini aku bisa merasakan bagaimana menangis ketika sholat ataupun mendengarkan MP3 ayatul Quran. Sungguhpun di negaraku itu sering tak kurasakan. Begitu banyak mujizat Allah kudapatkan disini. Bukan ketika aku berharap banyak... tapi justru ketika aku sudah menyerahkan semuanya. 



Disini aku percaya bahwa mestakung itu bukan karena kita optimis. Bukan karena kita berani. Tapi karena menyerahkan semuanya kepada yang maha berkehendak sekaligus tetap mempertahankan tekad untuk tidak berhenti berjuang di Jalannya. Aku percaya bila ikhlas kepada Gusti Allah maka semesta akan mendukung. Buatku, Ikhlas itu cuma menyukuri sedalam sedalamnya apa yang kita dapat dan tetap punya tekad untuk berjuang, seberat apapun. Sudah banyak nikmat Allah yang kudapatkan disini. Asrama yang baik dan sahabat-sahabat korea yang baik. 



Aku bersyukur atas apa yang sudah kuterima sembari tetap membulatkan tekad untuk terus berjuang. Ketika 2 temanku yang dosen brawijaya itu pulang sebelum mereka ke kota tujuan, aku cuma sebut nama Allah... Aku bilang ke Allah... "aku pasrah ya Allah. Aku mau terus disini. Aku cuma mau berjuang di jalanmu." Dan Tuhan ternyata memberiku lebih.

Tantangan disini tak semua orang bisa menghadapi mas. Banyak orang indonesia yang pulang karena kondisi asrama yang buruk, dingin, dan kaget dengan kelas bahasa yang menggunakan bahasa rusia. Ini membuktikan begitu buruknya manajemen PKR Indonesia (Pusat Kebudayaan Rusia Indonesia). Mahasiswa negara lain banyak yang tak mengalami pengalaman buruk seperti mahasiswa indonesia. 



Sekarang... aku justru bangga dan bersyukur bisa kuliah disini. Aku bersyukur tak kuliah di amerika atau di eropa barat.

Aku merasa terpilih untuk menghadapi tantangan disini. Bila saatnya nanti aku pulang, aku merasa tidak hanya akan membawa ilmu... tapi juga membawa banyak hal untuk diriku sendiri. Disini adalah tempat yang paling tepat untukku belajar, paling tepat untukku larut dalam makna, tempat paling tepat untuk mengasah dan menaklukkan diri sendiri. Ini adalah tempat terbaik untukku.

Dalam hatiku benar-benar terpatri tekad yang dalam, Aku tak akan pulang sebelum membawa manfaat untuk diriku, keluargaku, dan mahasiswaku, dan orang orang di sekitarku.

Dan... Btw, Orang-orang korea selatan itu sudah cukup untuk membuatku pindah ke lain hati ketika saatnya world cup 2012 nanti. Saat itu, aku tidak akan dukung inggris atau Jerman lagi. Aku akan dukung korea selatan. Perkecualian mungkin ketika Indonesia diadu sepakbola melawan korea selatan. Hahahahaha. 



Salam untuk semua dari Ekatrinburg.

Halo mas gimana kabarnya? Hmmm... disini rasanya gado gado. Beberapa foto sahabat-sahabatku dari korea + Dima baru saja kuupload di friendster. Begitu juga dengan teman-teman baik dari Thailand, Amerika, Rusia, Kirgistan. Di bawah photo friendster ada comment yang isinya nama-nama mereka. Yang jelas mereka sungguh baik.

Mungkin sudah 80 halaman lebih catatan perjalananku kubuat disini. Kukasih yang terbaru saja.

Selamat membaca

4 november 2008

Dalam kamar yang hangat ini bisa aku lihat bagaimana butiran butiran seperti kapas putih itu turun.... banyak sekali. Aku tersenyum... Sungguhpun aku pernah melihatnya di kereta trans siberia, tapi ini lain. Kali ini aku melihatnya dalam keadaan yang berbeda. Aku melihatnya dengan ketenangan. walaupun aku tau, itu dingin sekali. Burung burung berwarna warni hinggap di jendela kamarku. Mungkin mereka kedinginan. Ingin rasanya memberi potongan roti dan mengulurkan tangan ke luar, tapi aku takut udara dingin akan masuk ke kamar.

Aku lalu lihat lagi tumpukan buku dalam bahasa rusia ini. fuuuuh... hahahahaha.... Semangat semangat.


7 November 2008

19.45

Kemarin aku belajar mati-matian sampai jam 4 pagi. Sayang sekali, Aku tetap saja tak bisa tidur pulas sebagai kompensasi belajarku. Jam 7 pagi aku bangun untuk sholat subuh. Aku berusaha tidur lagi namun tetap saja. Aku hanya tidur sampai jam 9 pagi.

Hari ini aku bolos satu mata pelajaran listening, karena aku sholat Jumat. Bukan apa, sholat jumat toh listening juga. Setiap di pelajaran listening aku juga tak mengerti apa-apa. Pengajar pun seringkali melewatiku karena aku tak mengerti apa-apa.

Ildar menjemputku jam 12.30 untuk sholat jumat. Aku berjalan kira kira 30 menit dan kemudian sampailah aku di masjid. Masjidnya sederhana tapi jamaahnya penuh. Disana berkumpul semua orang muslim di rusia yang kebanyakan berasal dari tatar dan cecen. Beberapa diantaranya memakai surban. Muslim yang lain adalah dari Cina, Tajikistan, Kazahkstan, dan Uzbekistan.

Aku disana pun berkenalan dengan Makhmud dan Juga Rasul, mereka berdua orang Rusia. Lain itu aku berkenalan dengan Dildor, Orang Tajikistan. Mereka semua sangat bersahabat. Pulang dari Masjid aku diantar oleh Dildor dan Rasul ke asrama karena Ildar harus segera kuliah. Dildor sempat menyangka aku orang cina. Hehehehe... cina dari mana???

Masjid ini cukup menarik. Tidak luas memang. Tapi desainnya menarik. Lantai dua adalah tempat untuk sholat berjamaah tapi di lantai 1 adalah tempat untuk membeli peralatan sembahyang. Mulai dari tasbih, peci, wewangian, dll.

Ada keunikan sendiri ketika aku sholat di masjid itu. Sholat Sunnah sebelum Jumatan dilakukan berkali kali. Yang pertama adalah sholat tahiyatul masjid (kalau ini biasa kulakukan di negaraku), dan yang kedua adalah 4 rokaat sholat sunnah sebelum adzan. Setelah sholat jumat pun orang orang melakukan sholat sunnah 4 rokaat lagi. Lain itu yang kurasakan berbeda adalah, Di Indonesia sehabis sholat dan doa sendiri-sendiri ya langsung pulang. Disini seluruh jamaah masjid tidak pulang dulu sehabis doa. Seluruh Jamaah akan bersalaman dengan imam, setelah orang tersebut bersalaman dengan imam, maka dia akan berada disebelah imam dan menunggu salaman dari orang dibelakangnya sehingga kemudian terbentuk posisi melingkar satu sama lain. Tidak ada satu jamaah pun yang tidak bersalaman. Mereka yang bersalaman mengucapkan Assalamu’alaikum dan yang disalami mengucapkan Wa’Alaikumsalam. Ini akan terus dilakukan sampai seluruh jamaah sudah bersalaman. Ukhuwah seperti ini tak pernah kurasakan di negaraku. Akupun orang baru tapi mereka semua tersenyum hangat.

Dildor masih berusia 18 tahun, Ia mengambil jurusan Geologi di Ekatrinburg. Rasul berusia 22 tahun juga mengambil jurusan sama. Mereka menyarankan aku untuk tidak mencari perempuan rusia karena perempuan rusia walaupun cantik mereka itu matre dan pemabuk. Begitu juga Ildar yang mengatakan bahwa banyak pasangan rusia bercerai. Itu semua karena mereka tidak bisa mengontrol hawa nafsu mereka terutama nafsu terlalu banyak mengkonsumsi minuman beralkohol.

Mereka semua menyarankan aku untuk tidak sendirian ke masjid. Bila aku perlu ke masjid, hendaknya aku segera menghubungi mereka dan mereka akan menjemputku. Perjalanan ke mesjid sebenarnya aman. Tapi aman untuk orang orang yang berkulit bule. Orang tajik dan kazakstan amanlah ke masjid karena mereka masih bule. Untuk, orang yang berkulit berbeda, bisa-bisa jadi sasaran rasisme di sini. Kata mereka ada 3 kelompok orang yang harus dihindari oleh orang asing. Pertama adalah Skinhead, kedua adalah Polisi, dan ketiga adalah militsia alias tentara. Untuk Skinhead memang sudah terkenal rasis. Mereka tidak segan-segan membunuh orang orang yang berkulit berbeda.

Untuk Polisi dan Militsia ini yang aku kaget, aku baru tau ternyata sebagian dari mereka ini juga rasis. Mereka suka mengerjai warga asing bila kelihatan berjalan jalan sendiri.

Mereka akan menggeledah seluruh dokumen kita, bila toh lengkap, Uang kita yang akan diambil. Sebenarnya agak berbeda dengan keterangan teman teman koreaku. Mereka bilang polisi Ekatrinburg tidak serasis, polisi di Moscow dan St.Peterburg. Beberapa kali aku berjalan-jalan sendiri di kota dan bertemu polisi ternyata juga tidak apa-apa. Tentunya bukan berjalan-jalan sendiri di malam hari. Malam hari adalah saat beredarnya skinhead. Aku berani jalan-jalan jika siang hari. Lagipula untuk apa berjalan malam hari... toh Dingin.

Tapi aku percaya kata Ildar dan teman-temannya, bukan apa, ini berbeda dengan kasus kalau aku berjalan-jalan untuk berbelanja karena aku tinggal naik trem atau autobus dan turun di tempat tujuan, paling tinggal jalan 5-10 menit.

Ke masjid ya mau tidak mau harus melewati markas besar kepolisian rusia. Dan lagi kalau mau ke masjid mau tidak mau ya harus jalan kaki... seremnya melewati daerah skinhead. Kujadwalkan setiap 3 minggu aku harus sholat jumat.. Tentunya dengan menghubungi mereka dulu.

*

Kemarin, Oiy, Pui dan Nan main ke kamarku lagi. Internet mati dan mereka bingung mau ngapain. Akhirnya main ke kamarku. Aku suguhkan minuman hangat kepada mereka. Aku katakan kepada Pui... kalau dia mirip dengan adikku, Keke. Kutunjukkan foto-fotonya dia ketawa-ketawa dan dia bilang... “yeah.. a little bit”. Aku sempat cerita ke mereka... kalau di rusia sulit untuk mencari bumbu-bumbu. Masak aku cari santan alias coconut milk, dan buah cabe gak ada. Kata Se wook sih... jangankan di rusia, kalau mau cari coconut milk di korea juga ga ada. Pisang dan mangga aja di korea impor. Sama juga dengan rusia. Beruntunglah negaraku yang subur dan makmur... buah buahan dan sayur tak perlu impor sehingga harga tak semahal disini. Fuhhh tapi kenapa banyak orang di negaraku miskin ya?

Si Nan cerita... bahwa ada yang jual buah cabe di ekatrinburg tapi tempatnya jauh. Perlu 20 menit untuk kesana. Kalau coconut milk sebenarnya ada tapi ga banyak yang jual. Itupun coconut milk yang impor dari Thailand. Aku minta antar mereka kalau ada waktu untuk bisa membeli santan. Mereka menyanggupi hari senin. Aku sih maunya segera, karena aku ga sabar untuk masak kalau bisa malam ini. Mereka lagi lagi mengingatkan... ‘kalau cewek asing keluar malam malam mah santai... kalau laki??? Bahaya!... mending siang aja.”

Walah walah skinhead... kok ada orang kayak mereka. Pikiranku jadi terbang ke Indonesia. Skinhead juga jadi subculture sendiri di sebagian anak muda Indonesia. Seandainya orang indonesia penganut skinhead itu kemari dan mengucapkan salam persaudaraan neonazi kepada skinhead di Rusia, aku yakin bukannya pelukan hangat yang akan mereka dapatkan (sebagaimana Radik dan Ildar merangkulku kalau mengucapkan assalamu’alaikum), Adanya mereka malah dipukuli.

9 november 2008.

Fuuuh akhirnya.... aku bisa memasak dan mengundang hampir semua teman teman korea + dima. Total 11 orang yang datang. Aku mengundang hampir semua korea. Tapi beberapa berhalangan karena ada acara, ke gereja, atau sakit. Unik sekali acara ini. Aku memasak 2 omelet ukuran besar, plus ayam goreng tepung, plus sayur lodeh (Thanks mbak uniek emailnya, setidaknya masakanku tidak memalukan). Hehehehe... Semua masakanku ludes. Padahal aku memasak 2 kali lipat dari jumlah mereka. Sayang sekali nasinya kurang.

Aku mengundang mereka jam 7 malam. Tapi karena jam 5 sore aku masih di supermarket kuundur jam 8 malam. Aku pulang dari supermarket menembus gelap. Tanganku sampai sakit semua karena membawa belanjaan yang banyak. Berjalan pun dengan terburu-buru, menembus salju yang sangat dingin dan licin. Lain itu, sungguh tidak aman untuk berjalan malam-malam di rusia. Aku tidak bisa bela diri seperti Junhak yang pernah menghajar kawanan skinhead di depan asrama. Berjalan jam setengah enam, saat hari sudah gelap benar-benar bikin sport jantung, deg-degan. Di jalan nyebut nama Allah terus, apalagi jalanan sepi. Ya Allah... Bismillah.

Aku belanja total habis total 400 ribu hanya untuk membeli sayur, lombok, tahu, dan coconut milk alias santan, dan 2 kg ayam. Rusia ... sungguh mahal harga tahu, lombok, sayur dan santan. Lombok hijau 8 biji disini harganya 40 ribu begitu juga dengan tahu. Sama juga dengan satu kardus kecil santan (seukuran santan kara) yang mahalnya amit amit. Semuanya impor dari Thailand. Teman teman dari Thailand itulah yang memberitahuku dimana aku harus membeli santan dan lombok. Yah cukup jauh juga 20 menit jalan dari asrama.

Aku memasak dengan keburu-buru. Tentunya juga masak dengan modal bismillah. Cuma dengan modal resepnya yang diberikan mbak uniek. Untung omelet sosis sudah kubuat tadi sore jam 3. Jadi tinggal masukin oven biar hangat. Rasanya lumayan. Aku aja seneng, padahal ini baru pertama kali aku masak omelet dengan bumbu lumayan nendang. Aku bingung masak yang mana dulu. Jam sudah menunjukkan pukul 6 sore. Mana belum goreng ayam lagi, untung ayam sudah kurendam di air garam dan lada. Aku putuskan untuk goreng ayam dulu, sambil membuat satu omelet sosis lagi. Lalu masak sayur lodeh. Jujur yang bisa kuandalkan disini sebenarnya adalah ayam dan omelet karena kupikir itu akan sesuai dengan lidah mereka. Tapi sungguh tak kuduga... sayur lodeh itu habisssssss..... bis.... bis. Minuman yang kusuguhkan, yablaka juice alias juice apple, susu, teh, dan coca cola itu juga habis... bis.

Ada yang unik. Setiap teman korea yang datang, ternyata mereka juga membawa makanan kecil. Ternyata ini tradisi mereka di perantauan kalau mereka diundang makan. Mereka juga membawa sesuatu untuk dimakan bersama. Yoori membawa roti kering lapis coklat yang dia buat sendiri, Hong Juhn membawa kue tart, dan Sewook dan pacarnya (Miina) membawa salad. Waaah jadi penuh kamar dengan makanan.

Sangat hangat sekali pertemuan dengan mereka. Seperti biasa Yoori ngobrol dengan aku. Aku ndak ngerti yang dia obrolkan, Cuma beberapa kata saja. Tapi yang aku tangkap kalau hari jumat dia tidak ada kuliah... sehingga dia bisa kemanapun. Dia Cuma kuliah sampai kamis. Tahun depan dia lulus. Lain itu yang aku hafal adalah... “Ardi... tvoy glassu ocin krazzivaya...” alias... “ardi kamu punya mata yang indah”. Hahaha.. jadi Ge-er. Lain itu dia selalu ngamat ngamati foto si Indah di kamar. Katanya mirip bintang film korea. Aku ngobrol dengan yoori ini hampir 1 jam padahal aku ndak ngerti dia ngobrol apa. Cuma aku tangkap dia kasih aku waktu 3 bulan untuk belajar bahasa rusia, sehingga setidaknya aku bisa ngobrol banyak dia dengan cara yang lebih baik. Mungkin kalau ada myeong seok dia akan mentranslatekan. Tapi kali ini Myeongseok absen sakit.

Mereka dikamarku sampai jam 12 malam. Tidak ada bir disini, tapi mereka betah juga di kamarku.

Eun Chang yang berkali-kali ngajak aku merokok bareng di luar. Dia bilang.. “Heavy smooker, You are good cooker to. “ hahahaha... emangnya aku rice cooker. “Ya lubyu indoneiziizki soup... Vukuzna (delicious)...” Eunchang juga suka omelet itu, omeletnya sampai di koret-koreti sama eun chang. Aku bikin omelet sosis tapi bumbunya seperti buat omelet sayur, pakai tumisan bawang putih dan susu. Rasanya enak juga walaupun cuma feeling aja nyampur bumbu.

Mereka pamit jam 12 malam. Dima bilang.. “Ardi... you are a good beginner because you cook very very well”. Bahkan Se wook, koki para korea itu, juga ngomentari ayamku katanya ayamku jauh lebih baik dari ayam goreng rusia yang rasanya ndak enak poll. Hehehehe. Lumayan.

Aku berangkulan dengan mereka semua. Aku bilang dengan sepatah-patah... “Zjest i zavstra... Vi Maya cemya... ocin spasiba dlya vasa pamagats“ (here and after... All off u are my family... thank you very much for all your help). Mereka bilang... “kanyezna” (off course!!!). Kupikir mereka langsung pulang, ternyata mereka semua menungguku di depan pintu, karena aku ada di dapur. Tau mereka masih belum pulang aku keluar, dan ternyata mereka mau mengatakan sesuatu bareng bareng. Tau apa yang mereka bilang? Mereka bilang dalam bahasa indonesia, “sampai jumpa!”. Eun Chang menambahkan dengan bahasa indonsia kata yang dihafal sejak dari dulu, apalagi kalau bukan, “aku semua cinta kamu”, tentu saja maksud enchang adalah “kami semua suka dengan kamu!”. Aku tersenyum dan membalas mereka. Ada perasaan sedih juga. Baru aku menemukan keluarga tapi ternyata sebagian dari mereka (terutama yang ada di foto ini) akan pulang ke korea akhir november dan awal desember ini.

Setelah aku mengucapkan dobroe wiecer-Selamat sore- (Di rusia, dobroi wiecer itu lazim digunakan walaupun hari sudah gelap. Jam 1 malam baru kita mengucapkan dobroe nochi alias selamat malam), aku kembali ke dapur. Ternyata Byunghyun ada di dapur mencuci piring. Aku bilang... “aduh jangan dicuci. Kamu itu kuundang. Di indonesia orang yang diundang adalah raja.” Dia bilang, “pacemu (why), in korea if you are my brother we have to help each other. So many plates... (sambil menunjuk cucian yang bertumpuk” Aku jawab, “yah.. you are my brother... but please.... it’s make me sad, let u do something that I have to do. I would be happy if u smoking cigarillos with me than washing my plate and glass. Please give little bit happiness. Mozna... (please...)”

Dia akhirnya berhenti mencuci. Kita ngerokok cigarillos bareng sambil ngobrol ngalor ngidul, sungguhpun bahasa inggrisnya acakadut tapi aku mengerti apa yang dia maksud. Dia pingin bulan madu ke bali dan lombok kalau suatu saat punya istri. Dia pingin makan mangga sepuasnya di Indonesia. Korea mahal. Mangga yang murah di Indonesia mengingatkanku pada Mr. Joe, teman ibuku, yang pulang ke korea membawa mangga satu kardus.

Aku sempat tanya ke Byunghyun adakah di universitasnya program doktor untuk psikologi, kalau ada seandainya aku harus ambil S3 lagi, Aku pingin ambil S3 di korea. Dia bilang di Perguruan tingginya ada fakultas psikologi tapi dia bilang belum bisa memastikan apakah ada program S3 atau tidak. Byunghyun adalah mahasiswa pertukaran pelajar disini. Dia kuliah di Suwon Samsung University. Perguruan tinggi tertua di Korea Selatan, dan terbaik keempat di korea. Perguruan tinggi ini negeri tapi diback up penuh oleh Samsung. Link and Match. Dia sempat tanya, kenapa mau ambil sekolah di korea. Aku bilang, kalian semua membuat aku jatuh cinta dengan korea. Gimana aku ndak jatuh hati kalian semua baik baik, saya ndak bisa balas. Dia jawab, “jangan balas, suatu saat bila tidak ada mahasiswa korea dirusia dan kemudian datang mahasiswa korea disini, balas ke dia.” Aku bilang “pasti!”

Byung Hyun pulang... aku mencuci piring setumpuk dan membersihkan dapur. Setelah itu, SMS kemudian berbunyi dari Sovki sekretaris 1 perhimpunan mahasiswa Indonesia di rusia (Pemira). Ketika aku baca SMSnya, tanpa kusadari mataku tertuju pada merk HPku... tertulis merk korea, Samsung. Mataku kemudian tertuju kepada Kamera digital yang kubeli di Surabaya, tertulis juga merk samsung. Aku kemudian ingat aku pernah cerita ke mereka kalau ibu dan kakakku bekerja dengan orang orang korea di perusahaanya dan punya hubungan baik dengan mereka. Lantas aku ingat mereka pernah bilang ke aku, “Apapun kami lebih suka produk korea daripada jepang, apalagi Cina.” Aku tertawa sendiri. Pastinya ini hanya kebetulan. Tapi aku percaya hubunganku dengan orang korea ini lebih dari sekedar merk yang kugunakan tentunya.

Besok masak lagi. Besok aku undang 3 orang teman thailand, 2 teman rusiaku, 1 orang amerika, dan satu orang kirgistan disini. Oiy, Pui, Nan, Mikhail, Maxim, Paul, dan Kanibek.

10 november 2008. 23..44

Hari ini aku masak lagi. Gak banyak sih hanya untuk 7 orang termasuk aku. Undangan ini khusus untuk orang yang sudah membantuku selain orang-orang korea itu. Max, orang rusia yang masih berusia 18 tahun itu, ternyata sangat baik. Dia akan mengajakku liburan ke rumahnya di desa. Aku tidak tau desa rusia itu seperti apa. Dia ingin mengajariku bermain ice skating di desanya. Januari ini dia akan mengajakku. Begitu juga orang kirgistan itu. Dia fasih bahasa arab. Paul, sungguhpun dia suka menghabiskan makananku sampai habis bis. Dia orang yang sangat baik. Orang yang sangat terus terang.

Sebelum mereka datang, ketika aku menunggu Paul dkk. Ada sedikit insiden di kamarku. Tiba tiba komandan asrama melabrak kamarku. Dia ngomel-ngomel. Aku dimarahi dan tidak boleh duduk di dekat jendela dan di dekat pemanas. Yang jelas dia menunjuk pemanas di ruanganku yang satu murnya copot gara-gara dinaiki. Pastinya dari gayanya dia menuduhku aku merusakkan murnya gara gara ketika aku duduk aku menaikkan kakiku di atas pemanas ruangan. Hey... aku sebenarnya mau bilang, sejak dari kedatanganku, satu murnya memang sudah tidak ada, tapi aku ndak tau harus bilang apa. Aku Cuma bilang “izvinice.. izvinice(maaf maaf)”. Dia malah mendelik dan berteriak “IZVINICE... IZVINICE...” Dua orang cina di sebelah kamarku itu kemudian datang ke kamarku. Dan mengatakan sesuatu kepadanya dalam bahasa rusia... “ On ne snayet... on noboi stujent... ( dia gak tau, dia orang baru). Perempuan tua itu masih ngomel. Aku bingung apa salahku. Aku juga menebak nebak dari bahasa tubuh kenapa dia marah karena aku duduk sembarangan di dekat pemanas dan menyebabkan murnya copot. Aku sampai bingung.

Entah siapa yang melaporkan, karena tak mungkin komandan asrama melihatku duduk dekat jendela, dekat pemanas ruangan. Memang benar aku sering duduk di dekat pemanas, tapi tak benar aku menyelempangkan kakiku di atas dan kemudian menjadi penyebab murnya copot.

10 menit kemudian Max dan Kanibek datang, lalu gadis-gadis Thailand itu membawa Tom Yam, dan kemudian Paul. Mereka kuceritakan tentang masalahku. Paul lalu bilang, “Hey... aku sering dimarahi gak Cuma kamu. Tapi sungguh kamu bodoh, kenapa kamu nggak pisuhi dia aja pakai bahasa indonesia.” Dia lantas tanya “what’s the damned in indonesia?” Aku jawab... “Its bangsat.” “You are fool... you dont need to say izvinice for the bitch like her... said BANGSAT!” aku langsung ketawa. Ternyata memang komandan asrama itu begitu cerewet, semua yang kuundang ternyata pernah ditegur dan diomelin oleh penjaga asrama. Aku bilang ke Paul, “Hey... paul you are so rude... you tell her like a bitch.” Dia kemudian mengatakan, “ Why? no... she is not like a bitch but she is truly a bitch!” Malam ini penuh tawa.

3 Gadis Thailand itu kemudian bertanya padaku, bagaimana rasanya punya tetangga dari cina. Aku bilang biasa saja. Dia kemudian bilang aku beruntung. Dia bilang, begitu banyak orang cina yang menyebalkan disini yang selalu menganggap rendah orang dari negara lain. Lalu si Poi, Nan, Oiy menceritakan bagaimana dia juga sering kesal sekali dengan orang cina di Thailand yang tidak bisa berbaur. Paul mendengar apa yang kami bicarakan. Dia tersenyum, lalu dia bilang... “Hey its depend on the people... not all. But most of them yeah.” Aku Cuma tersenyum.... dalam hati mengiyakan.

Tapi aku setuju dengan Paul, aku punya satu teman dari cina namanya yuwenyang. Dia sangat ramah sekali bahkan sangat baik

Tapi dari malam ini yang paling mengesankan adalah tawaran, “Max, Winter holiday in his villages.” I am coming Max. Waaw...

Rabu, 26 November 2008

PERBANDINGAN MPR DENGAN CONGRESS

RESEARCH DESIGN

Perbandingan Majelis Permusyawaratan Rakyat Indonesia Dengan Congress di Amerika Serikat




Oleh:

Mahmud Zamzami

05.01.111.00411

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS INDONESIA

2008

BAB I

PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang

Di Indonesia, setelah terjadi amandemen undang-undang dasar telah terjadi perubahan susunan lembaga-lembaga Negara beserta kewenangannya, dintaranya adalah pada Majelis Pemusyawaratan Rakyat(MPR), beberapa perubahan pada lembaga ini adalah hapusnya kewenangan MPR untuk membuat GBHN, dan memilih presiden dan wakil presiden (dalam keadaan normal).

Perubahan selanjutnya adalah adanya lembaga baru yaitu DPD (Dewan Perwakilan Daerah) yang bertujuan untuk mewakili daerahnya masing-masing untuk melakukan kegiatan politis terkait dengan aspirasi daerahnya dan perumusan undang-undang yang menyangkut kepentingan daerahnya. DPD merupakan perwakilan daerah yang dipih langsung oleh masyarakat/warga Negara melalui proses pemilu. Hal ini mencerminkan bahwa di Indonesia menganut sistem bikameral.

Adanya dua kamar ini tercermin dari adanya dua lembaga yang merumuskan dan membahas undang-undang yaitu DPR dan DPD, hal ini terinspirasi oleh sistem yang ada di amerika serikat yaitu adanya senat dan house of representatif yang melakukan pembahasan terhadap undang-undang, dan lain-lain yang akhirnya diadopsi oleh Indonesia dalam amandemen undang-undang dasar.

Dalam hubungannya dengan Majelis Permusyawaratan Rakyat, DPD merupakan bagian dari Majelis Permusyawaratan Rakyat, hal ini diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 2 yang menyatakan bahwa “Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri atas anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Daerah yang dipilih melalui pemilihan umum”.

sistem dua kamar (bikameral)—DPR dan DPD merupakan jiplakan sistem bicameral (Senat dan DPR) di Amerika. Ini pengakuan Wakil Ketua Panitia Adhoc (PAH) I BP MPR, Harun Kamil. Sebenarnya, tanpa pengakuan pun, berbagai kalangan sudah paham soal itu. Toh, kalaupun menjiplak bukan dosa, sejauh itu memang positif. Hanya saja, bisa menjadi soal kalau menjiplak sekadar menjiplak tanpa tahu mengapa, dari mana, untuk apa dan mau ke mana. Pasti, MPR memahami dan mengetahui hal itu.

Secara anatomi politik, memang sangat sulit untuk menerapkan sistem bicameral Amerika ke dalam sistem politik di Indo-nesia. Karena, baik sistem politik maupun pemerintahan yang berbeda. Misalnya, sistem bikameral Amerika sangat terkait dengan sistem federal. Untuk itu, bicameral mungkin baik bagi Amerika, tapi belum tentu cocok bagi Indonesia.

Menyimak latar belakang keberadaan sistem bikameral Amerika, sesungguhnya sistem itu lahir dari pergulatan politik dari elit politik Amerika. Sistem itu lahir sebagai solusi untuk meredam pertentangan elite mengenai pola perwakilan dalam Konggres AS, ketika menyusun konstitusi.

I.2. Rumusan Masalah

Dalam makalah ini yang menjadi masalah adalah:

  1. Apakah Indonesia memakai sistem bikameral seperti di amerika serikat?
  2. Apa perbadaan antara mejelis permusyawaratan rakyat (MPR) di Indonesia dengan Congress di amerika serikat?

BAB II

PEMBAHASAN

1. Apakah Indonesia memakai sistem bikameral seperti di amerika serikat

A. Sistem Bikameral

Sistem parlemen bikameral dimulai di Inggris pada abad ke 14, dan sejak itu diterapkan di negara-negara daratan Eropa serta di Amerika. Sistem bikameral di negara negara yang disebut “dunia pertama” itu berlatar belakang sejarah dan tradisi yang panjang. Sedangkan di wilayah lain tumbuh bersama dengan konstitusi yang lahir dengan kemerdekaan atau yang lahir bersama reformasi setelah perubahan sistem pemerintahan menjadi demokrasi.

Sistem bikameral atau dua kamar adalah sistem parlemen yang terbagi atas 2 lembaga legislatif dalam suatu struktur negara. Dalam menjalankan tugasnya kedua lembaga ini mempunyai tugas-tugas tertentu.

Pada prinsipnya, kedua kamar majelis dalam sistem bikameral ini memiliki kedudukan yang sederajat. Satu sama lain tidak saling membawahi, baik secara politik maupun secara legislatif. Undang-undang tidak dapat ditetapkan tanpa persetujuan bersama ataupun melalui sidang gabungan diantara kedua majelis itu.

Pembagian ini dikritik oleh C.F. Strong yang menyatakan sebagai tidak tepat atau tidak riil karena apabila klasifikasi ini kita pergunakan maka kita akan menyamakan negara-negara yang tidak melakukan pemilihan anggota badan perwakilan menjadi satu dengan negara-negara yang melakukan pemilihan anggota badan perwakilan dengan pemilihan umum.[1]

Sistem bikameral adalah wujud institusional dari lembaga perwakilan atau parlemen

sebuah Negara yang terdiri atas dua kamar (majelis). Majelis yang anggotanya dipilih dan mewakili rakyat yang berdasarkan jumlah penduduk secara generik disebut majelis pertama atau majelis rendah, dan dikenal juga sebagai House of Representatives. Majelis yang anggotanya dipilih atau diangkat dengan dasar lain (bukan jumlah penduduk), disebut sebagai majelis kedua atau majelis tinggi dan di sebagaian besar negara (60%) disebut sebagai Senate (dengan berbagai variasinya seperti sénat, senato, senado, senatuil).[2]

Sistem dua kamar adalah praktik pemerintahan yang menggunakan dua kamar legislatif atau parlemen. Jadi, parlemen dua kamar (bikameral) adalah parlemen atau lembaga legistlatif yang terdiri atas dua kamar. Di Britania Raya sistem dua kamar ini dipraktikkan dengan menggunakan Majelis Tinggi (House of Lords) dan Majelis Rendah (House of Commons). Di Amerika Serikat sistem ini diterapkan melalui kehadiran Senat dan Dewan Perwakilan.

Indonesia juga menggunakan sistem yang agak mendekati sistem dua kamar melalui kehadiran Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang terdiri dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD), meskipun dalam praktiknya sistem ini tidak sempurna karena masih terbatasnya peran DPD dalam sistem politik di Indonesia.

Selain lahir dari tradisi dan sejarah yang panjang, diterapkannya bikameralisme dalam sistem perwakilan diberbagai negara pada umumnya didasarkan atas dua pertimbangan (lihat Patterson dan Mughan 1999):

1) Representation, perlunya perwakilan yang lebih luas dari pada hanya atas dasar jumlah penduduk. Dalam hal ini yang paling utama adalah pertimbangan keterwakilan wilayah. Maka acapkali dikatakan bahwa majelis rendah mencerminkan dimensi popular (penduduk) sedangkan majelis tinggi mencerminkan dimensi teritorial (Tsebelis dan Money ibid). Namun ada pula negara yang menerapkan azas keterwakilan berdasarkan keturunan, dan kelompok sosial, seperti agama, budaya dan bahasa, kelompok ekonomi, serta kelompok minoritas, yang dalam sistem yang menganut satu majelis, kepentingan-kepentingan tersebut dapat tenggelam karena tidak cukup terwakili.

2) Redundancy, perlu adanya sistem yang menjamin bahwa keputusan-keputusan politik yang penting, dibahas secara berlapis (redundancy) sehingga berbagai kepentingan dipertimbangkan secara masak dan mendalam.

Menurut pendapat para ahli, sistem bikameral mencerminkan prinsip checks and balances bukan hanya antar cabang-cabang kekuasaan negara (legislatif, eksekutif, yudikatif) tapi juga di dalam cabang legislatif itu sendiri. Dengan demikian maka sistem bikameral dapat lebih mencegah terjadinya tirani mayoritas maupun tirani minoritas (Patterson dan Mughan 1999).

Masalah yang seringkali ditampilkan sebagai penolakan terhadap sistem bikameral, adalah efisiensi dalam proses legislasi; karena harus melalui dua kamar, maka banyak anggapan bahwa sistem bikameral akan menganggu atau menghambat kelancaran pembuatan undang-undang. Sejak awal memang banyak yang sudah mempersoalkan manfaat yang dapat diperoleh dari adanya dua sistem seperti tersebut di atas dibanding dengan “ongkos yang harus dibayar” dalam bentuk kecepatan proses pembuatan undangundang.[3]

Maka negara-negara yang menganut sistem bikameral dengan caranya masing-masing telah berupaya untuk mengatasi masalah tersebut, antara lain dengan membentuk conference committee untuk menyelesaikan perbedaan yang ada antara dua majelis tersebut, sehingga dewasa ini persoalan itu tidak dipandang lagi menjadi faktor penghambat. Dilihat dari segi kewenangan yang dimiliki majelis tinggi, sistem bikameral pada umumnya dibagi dalam dua kategori: kuat dan lemah.

Beberapa sistem bikameral:

Sistem bikameral Federalis

Beberapa negara, seperti Australia, Amerika Serikat, India, Brasil, Swiss, dan Jerman, mengaitkan sistem dua kamar mereka dengan struktur politik federal mereka.

Di AS, Australia dan Brazil, misalnya, masing-masing negara bagian mendapatkan jumlah kursi yang sama di majelis tinggi badan legislatif. Tidak peduli perbedaan jumlah penduduk antara masing-masing negara bagian. Hal ini dirancang untuk memastikan bahwa negara-negara bagian yang lebih kecil tidak dibayang-bayangi oleh negara-negara bagian yang penduduknya lebih banyak. (Di AS, kesepakatan yang menjamin pengaturan ini dikenal sebagai Kompromi Connecticut.) Di majelis rendah dari masing-masing negara, pengaturan ini tidak diterapkan, dan kursi dimenangkan semata-mata berdasarkan jumlah penduduk. Karena itu, sistem dua kamar adalah sebuah metode yang menggabungkan prinsip kesetaraan demokratis dengan prinsip federalisme. Semua suara setara di majelis rendah, sementara semua negara bagian setara di majelis tinggi.

Dalam sistem India dan Jerman, majelis tinggi (masing-masing dikenal sebagai Rajya Sabha dan Bundesrat), bahkan lebih erat terkait dengan sistem federal, karena para anggotanya dipilih langsung oleh pemerintah dari masing-masing negara bagian India atau Bundesland Jerman. Hal ini pun terjadi di AS sebelum Amandemen ke-17.

Sistem dua kamar kebangsawanan

Di beberapa negara, sistem dua kamar dilakukan dengan menyejajarkan unsur-unsur demokratis dan kebangsawanan.

Contoh terbaik adalah Majelis Tinggi (House of Lords) Britania Raya, yang terdiri dari sejumlah anggota hereditary peers. Majelis Tinggi ini merupakan sisa-sisa sistem kebangsawanan yang dulu pernah mendominasi politik Britania Raya, sementara majelis yang lainnya, Majelis Rendah (House of Commons), anggotanya sepenuhnya dipilih. Sejak beberapa tahun lalu telah muncul usul-usul untuk memperbarui Majelis Tinggi, dan sebagian telah berhasil. Misalnya, jumlah hereditary peers (berbeda dengan life peers) telah dikurangi dari sekitar 700 orang menjadi 92 orang, dan kekuasaan Majelis Tinggi untuk menghadang undang-undang telah dikurangi.

Sebuah contoh lain dari sistem dua kamar kebangsawanan adalah House of Peers Jepang, yang dihapuskan setelah Perang Dunia II

B. Sistem di indonesia

Pada amandemen UUD pertama pada 1999, muncul keinginan kuat untuk membatasi kekuasaan presiden sebagai akibat dari "trauma" politik kekuasaan presiden yang berlebihan dalam UUD 1945 sebelum diamandemen. Namun alih-alih menciptakan keseimbangan kekuasaan (checks and balances), yang dihasilkan justru sebuah konstitusi yang bersifat legislative heavy. Ini terlihat dari kekuasaan legislatif yang melingkupi mulai dari pembuatan undang-undang sampai wewenang kontrol yang diterjemahkan sampai pada keharusan bagi setiap duta besar negara lain yang dikirim ke Indonesia.

Apa yang salah dengan legislative heavy? Tentu tidak ada yang mutlak benar dan salah dalam sebuah sistem politik. Namun yang menjadi soal adalah bagaimana sistem politik ini didisain. Di sini, pertanyaan mengenai kompetisi politik menjadi penting karena disain lembaga-lembaga politik sesungguhnya, dipercayai, berangkat dari soal menciptakan ruang-ruang untuk berkompetisi sehingga pada akhirnya ada suatu kondisi "keseimbangan" yang dibahasakan sebagai "checks and balances".

Mencermati hasil perubahan ketiga UUD 1945 dalam sidang tahunan 2001, tidak bisa tidak, pola perwakilan di parlemen telah menganut sistem dua kamar. MPR terdiri dari dua kamar. Satu kamar adalah DPR dan satu kamar lagi Dewan Perwakilan Daerah (DPD). DPR dipilih dalam Pemilu berdasarkan jumlah suara, sementara DPD, juga dipilih dalam Pemilu berdasarkan provinsi.

Jumlah anggota DPD dalam MPR dari setiap provinsi sama. Tapi, tidak lebih dari 1/3 jumlah anggota DPR. Komposisi ini, juga mirip sistem bikameral di AS, dimana jumlah anggota senat lebih sedikit dari anggota DPR. Tapi, kewenangan senat sangat berimbang dengan kewenangan DPR. Bahkan, masa tugas senator lebih lama ketimbang DPR. Ini tidak tampak dalam bicameral Indonesia.

Mengenai DPD dan DPR dalam MPR, tampak DPR memiliki kewenangan yang lebih luas dibandingkan DPD. Bahkan, DPD tidak mempunyai kewenangan yang sangat cukup signifikan sebagai wakil daerah. Kalau dibandingkan dengan bikameral AS, kepuasan negara bagian yang besar dan kecil, bukan sekadar terwakili dalam konggres. Tapi, roh dari bikameral AS itu terletak pada bargaining position yang seimbang. Sebuah undang-undang hanya sah kalau disetujui senat dan DPR.

Dengan posisi yang sama kuat, maka meski wakil dari negara bagian yang besar lebih banyak di DPR, tapi tidak membuat UU yang merugikan negara bagian kecil, karena UU itu bisa dimentahkan dalam senat. Tapi, apa yang ditemukan dalam bikameral Indonesia, DPD tidak lebih sebagai pelengkap dan formalitas belaka. Bisa saja, hal ini ditepis dengan alasan, karena di DPR sudah ada perwakilan dari daerah. Kalau ini benar, berarti DPD menjadi tidak penting, sehingga tidak perlu dibentuk lagi.

Dari kewenangan yang diatur dalam ayat 1-3, pasal 22D, DPD nyaris tak mengemban fungsi legislasi. Suatu ketika, keberadaan DPD dan hubungannya dengan DPR akan berpotensi melahirkan kerancuan. Tidak adanya fungsi legislasi itu, terlihat dari kewenangan DPD yang hanya mengajukan RUU yang berkaitan dengan persoalan daerah kepada DPR. Jadi, DPD sebatas mengajukan, bukan mengambil keputusan. Mengajukan RUU bukan fungsi legislasi.

Kewenangan kedua, DPD ikut membahas RUU yang berkaitan dengan daerah. Ini tidak jelas, hanya sekadar ikut membahas atau mengambil keputusan? Sekali lagi, kalau sekadar membahas RUU tidak bisa dikatakan DPD memiliki fungsi legislasi. Kewenangan lain, DPD memberikan pertimbangan kepada DPR mengenai RUU APBN, RUU Pajak, pendidikan dan agama. Artinya, pertimbangan itu bisa dipakai atau tidak. Jadi, tergantung DPR. Soal memberikan pertimbangan bukan fungsi legislasi.

DPD juga diberikan kewenangan untuk mengawasi pelaksanaan UU yang berkaitan dengan daerah. Ini menyimpan pertanyaan lanjutan, misalnya mau dikemanakan hasil pengawasan itu. Kemudian, apakah tidak tumpang tindih dengan fungsi kontrol dari DPR. Ataukah, hasil pengawasan itu diberikan kepada DPR.

Hegemoni DPR terhadap DPD, sangat berpotensi melahirkan superioritas DPR dalam pengelolaan negara. DPD tidak lebih dari sekadar wakil yang duduk dalam bidang legislatif, tapi tanpa kewenangan legislasi. Ketiadaan fungsi legislasi bagi DPD ini, bisa dimaklumi, karena sistem bikameral Indonesia lahir sebagai karbitan(tergesa-gesa) yang kering, tanpa roh. Hal ini ditunjukkan oleh beberapa hal, diantaranya adalah:

Konsep Persetujuan Bersama dan Pocket Veto Yang Tidak Kompatibel

Dikatakan dalam Pasal 20 ayat (2) UUD bahwa setiap RUU harus mendapat "persetujuan bersama" dari DPR dan Pemerintah. Konsep adanya persetujuan bersama ini diterjemahkan menjadi pembahasan yang sifatnya sangat teknis secara bersama-sama oleh DPR dan wakil dari pemerintah. Mekanismenya, untuk RUU yang diajukan oleh Pemerintah, presiden akan mengirimkannya kepada DPR melalui suatu Surat Presiden (Surpres, sebelum UU 10/2004 tentang Peraturan Perundang-Undangan dikenal dengan nama "Ampres" atau "Amanat Presiden"). Kemudian DPR akan menentukan komisi mana yang akan membahasnya atau akan dibuat suatu Panitia Khusus (Pansus) yang terdiri dari berbagai komisi. Sementara untuk RUU yang dibuat oleh DPR, DPR akan mengirim surat kepada presiden untuk meminta presiden mengutus salah satu wakilnya dalam pembahasan di DPR.

Dalam proses pembahasan, yang dilakukan adalah pembahasan pasal per pasal, kalimat per kalimat, yang kadang-kadang berkepanjangan dan terlampau rinci. Idealnya, proses yang terjadi DPR adalah sebuah proses politik. Sementara hal yang sifatnya teknis diselesaikan tersendiri oleh sekelompok orang yang mempunyai tugas yang bersifat teknis.

Persetujuan bersama ini jadi terlihat janggal dalam suatu sistem ketatanegaraan dengan sistem pembagian kekuasaan yang berkeinginan untuk menciptakan keseimbangan (checks and balances). Sebagaimana dikemukakan oleh Sartori: "...the problems of presidentialism are not in the executive arena but in the legislative arena." (Giovanni Sartori: 1997 p.83). Dalam sistem presidensial, forum yang lebih penting dalam hal keseimbangan peran eksekutif dan legislatif terletak pada wilayah legislatif daripada wilayah eksekutif. Di sini seharusnya muncul proses "adu kekuatan" antara legislatif dan eksekutif, yang sebenarnya merupakan mekanisme politik dalam menyeimbangkan kekuasaan mereka dalam sebuah sistem presidensial.

Dengan begitu, adanya konsep "persetujuan bersama" sesungguhnya bersifat distortif dalam sebuah sistem presidensial karena meniadakan karakteristik penting dalam sistem presidensial, yaitu adanya eksekutif dan legislatif yang saling menyeimbangkan dalam proses penentuan kebijakan di luar mekanisme dalam parlemen sebagaimana terjadi dalam sistem parlementer.[4]

Sistem pembentukan undang-undang di Indonesia menjadi lebih ganjil lagi ketika kemudian model persetujuan bersama ini dikawinkan dengan dibolehkannya penolakan presiden untuk menandatangani undang-undang yang sudah disahkan secara bersama-sama oleh presiden dan DPR dalam proses yang terjadi di DPR.

Setidaknya ada lima undang-undang yang diundangkan tanpa tanda tangan Presiden, yaitu:

I. Undang-Undang No. 18 tahun 2003 tentang Profesi Advokat,

II. Undang-Undang No. 25 tahun 2002 tentang Kepulauan Riau,

III. Undang-Undang No. 32 tahun 2002 tentang Penyiaran,

IV. Undang-Undang No. 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara, dan

V. Undang-Undang tentang No. 21 Tahun 2003 tentang Pengesahan ILO Convention No. 81 Concerning Labour Inspection In Industry and Commerce (Konvensi ILO NO. 81 Mengenai Pengawasan Ketenagakerjaan dalam Industri dan Perdagangan)

Hal ini tidak banyak mendapat sorotan dari publik karena memang tidak ada akibat langsungnya pada publik. Namun terlihat adanya problem konstitusional yang cukup pelik di sini, yang juga merupakan bagian dari puzzle yang menunjukkan akibat buruk dari konstitusi tambal sulam kita.

Tidak ditandatanganinya suatu undang-undang oleh presiden didasari oleh Pasal 20 ayat (5) UUD. Ketentuan ini berbunyi, dalam hal RUU yang telah disetujui bersama oleh presiden dan DPR tidak disahkan oleh Presiden dalam waktu 30 hari sejak RUU tersebut disetujui, RUU tersebut sah menjadi undang-undang dan wajib diundangkan.

Mekanisme adanya undang-undang yang berlaku tanpa adanya tanda tangan kepala negara dikenal dan diberlakukan di beberapa negara. Ini merupakan salah satu bentuk konkrit dari mekanisme checks and balances antara eksekutif dan legislatif. Karena tujuan itu. ada beberapa prosedur yang mendahuluinya. Biasanya presiden juga diberikan hak veto atas suatu undang-undang yang dibuat oleh parlemen. Selanjutnya, parlemen masih bisa menggagalkan hak veto presiden tersebut melalui persetujuan dari parlemen dalam jumlah tertentu yang lebih dari jumlah yang dibutuhkan untuk mengesahkan suatu undang-undang. Hasil tentangan parlemen inilah yang biasanya masih bisa di-veto "secara diam-diam" oleh presiden melalui tidak ditandatanganinya undang-undang tersebut. Meski demikian, karena undang-undang itu dianggap sudah disetujui secara mayoritas oleh parlemen yang merepresentasikan rakyat, undang-undang tersebut tetap sah. Mekanisme ini didisain untuk menciptakan ruang untuk adanya kompetisi politik, tanpa menciptakan suatu kondisi buntu (deadlock) sehingga sistem justru tidak berjalan. Tidak bersedianya presiden menandatangani sebenarnya merupakan sebuah pernyataan politik. Karena itu, biasanya ada penjelasan-penjelasan dari presiden ataupun parlemen dalam peristiwa penolakan-penolakan ini.

Bagaimana dengan kasus di Indonesia? Tidak pernah ada pernyataan resmi dari presiden mengenai tidak ditandatanganinya keempat undang-undang di atas. Satu lagi yang terlihat janggal adalah kenyataan bahwa seharusnya presiden dianggap sudah mengetahui dan mengemukakan hal-hal yang dirasakan perlu melalui adanya mekanisme "persetujuan bersama" yang diatur dalam Pasal 20 ayat (2) UUD. Tidak ditandatanganinya suatu undang-undang menjadi suatu hal yang aneh karena bukankah berdasarkan di saat yang sama undang-undang merupakan hasil "persetujuan bersama" antara pemerintah dan DPR?

DPD: "Parlemen" Tanpa Kekuasaan

Amandemen Ketiga UUD melahirkan lembaga baru dalam struktur ketatanegaraan Indonesia, yaitu Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Sewaktu DPD pertama kali digaungkan oleh kalangan akademisi dan Ornop, DPD diharapkan dapat mewakili wilayah-wilayah di Indonesia dan bertugas sebagai mitra tanding yang sejajar dengan DPR. Dasar pemikirannya, Indonesia yang sangat luas, beragam, dan berpenduduk banyak membutuhkan sistem ini agar keterwakilan politik berjalan dengan lebih baik.

Namun konsep ini kembali diadopsi setengahnya dan dicampur dengan kepentingan politik saat amandemen tahun 2001 dilakukan. Usulan mengenai DPD diterima, namun posisi yang sejajar dengan DPR tidak diberikan. Kewenangan dan kedudukannya sangat jauh dari yang diharapkan.

Harapannya, DPD akan dapat mewakili aspirasi masyarakat di daerah dalam penentuan kebijakan tingkat nasional. Kenyataannya, konstitusi hanya memberikan sedikit kewenangan bagi DPD sehingga sedikit sekali ruang gerak yang tersedia bagi DPD dalam menyuarakan kepentingan daerahnya.

DPD mempunyai wewenang yang sangat terbatas dan hanya terkait dengan soal-soal kedaerahan. Dalam Konstitusi ditentukan bahwa DPD hanya "dapat" mengajukan RUU, "ikut membahas" RUU dan "dapat" melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang, dengan catatan bahwa kewenangan tersebut hanya terbatas pada undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah (Pasal 22D UUD). Dalam UU Susduk, kedudukan DPD yang sudah dilemahkan sejak lahir ini diperlemah dengan tidak diaturnya pelaksanaan wewenang DPD secara rinci. Ketentuan dalam UU Susduk seakan hanya menyalin ketentuan mengenai DPD dalam Konstitusi. UU Susduk mengatur bahwa keikutsertaan DPD dalam pembahasan RUU dilakukan sebelum pembahasan oleh DPR. Hal ini disebabkan adanya ketentuan lain dalam konstitusi (Pasal 20) yang menegaskan bahwa wewenang pembentukan undang-undang ada di tangan DPR, bukan DPR dan DPD.

Sekali lagi, kata kunci yang akan digunakan adalah "kompetisi". Dalam penelitian yang dilakukan oleh Arend Lijphart terhadap 36 negara, disimpulkan adanya dua karakter untuk melihat keberadaan sistem bikameral yang diterapkan kuat (strong bicameralism) atau lemah (weak bicameralism)[5]. Karakter pertama, kewenangan konstitusional yang dimiliki oleh kedua kamar. Kecenderungannya, kamar kedua kedua (Senate di Amerika Serikat, Bundesrat di Jerman, atau DPD di Indonesia) biasanya mempunyai kewenangan yang lebih kecil daripada kamar pertama (House of Representatives di Amerika Serikat, Bundestag di Jerman, atau DPR di Indonesia). Kedua, signifikansi politik kamar kedua tergantung tidak hanya dari kekuatan formal mereka, melainkan juga dari cara pemilihan anggotanya. Kedua karakter ini saling berkaitan. Kamar kedua yang anggotanya tidak dipilih secara langsung mempunyai legitimasi yang minimal dan karenanya biasanya mempunyai peran politik yang kurang penting. Oleh sebab itu, ada tendensi kamar kedua yang anggotanya punya legitimasi kuat karena dipilih secara langsung lantas diberikan wewenang yang lebih kecil daripada kamar pertama. Dari kedua karakter ini, Lijphart kemudian mengklasifikasikan parlemen bikameral menjadi dua kelompok, yaitu simetris dan asimetris[6]. Dikatakan simetris bila kekuatan di antara kamar pertama dan kedua relatif setara dan asimetris bila kekuatan di antara keduanya sangat tidak berimbang.

Dalam bahasa yang digunakan banyak politisi dan pengamat politik di Indonesia, sistem yang dianut oleh Indonesia pasca-amandemen ketiga konstitusi dikatakan sebagai bikameral yang lemah. Bisa jadi, model kategorisasi di atas yang digunakan. Dikatakan bahwa Indonesia menganut weak bicameralism karena DPD memiliki kekuasaan yang terbatas dan legitimasi yang kuat karena dipilih langsung. Namun satu hal yang agaknya terpinggirkan ketika kategorisasi ini digunakan adalah makna dari ‘kekuasaan’ dalam sebuah proses politik.

Pertanyaan kuncinya adalah: apakah DPD mempunyai ‘kekuasaan’ dalam proses politik? Pertanyaan ini dapat dijawab dari tiga fungsi dasar parlemen, yaitu fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan. DPD sesungguhnya tidak mempunyai wewenang sampai pada tingkat pengambil keputusan dalam proses politik. Seluruh ‘wewenang’ DPD hanya sampai pada tingkat memberikan pertimbangan. DPD memang dapat mengajukan rancangan undang-undang (RUU), namun pengambilan keputusan mengenai legislasi hanya dilakukan oleh DPR dan presiden. Sebab Pasal 20 ayat (1) dan (2) UUD menyatakan dengan tegas bahwa kekuasaan legislasi ada pada DPR; dan setiap rancangan undang-undang dibahas oleh DPR dan presiden untuk mendapatkan persetujuan bersama. Sebagai bahan perbandingan, lihat juga Bivitri Susanti dalam artikelnya berjudul Bukan Sekadar Lembaga Pemberi Pertimbangan: Peran DPD dalam Proses Legislasi dimuat dalam Jurnal Legislasi Indonesia. Tata Tertib DPR kemudian memang mengatur adanya pembahasan terhadap rancangan undang-undang usulan DPD, tetapi komisi terkait di DPR dan Badan Legislasi DPR tidak diwajibkan untuk menerimanya. Peraturan tata tertib DPR tidak secara eksplisit menyatakan bahwa RUU yang diusulkan harus dibahas dan disetujui. Begitu pula dalam konteks fungsi pengawasan, DPD hanya memberikan pertimbangan, yang selanjutnya akan ditindaklanjuti oleh DPR melalui tiga hak kelembagaan DPR, yaitu hak interpelasi, angket, dan menyatakan pendapat (Pasal 27 UU 22/2003). Hal yang sama juga dapat dilihat hal fungsi anggaran. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa bahkan terlalu terburu-buru untuk menyatakan bahwa Indonesia sudah menganut bikameral.

Kritik yang sering ditujukan kepada perubahan ketiga UUD adalah lemahnya wewenang DPD. Karena itu pula konsep bikameral tersebut sering dibahasakan sebagai “weak bicameral” atau “soft bicameral”. Istilah ini muncul karena DPD mempunyai wewenang yang sangat terbatas dan hanya terkait dengan soal-soal kedaerahan.

Dalam konstitusi ditentukan bahwa DPD hanya “dapat” mengajukan RUU, “ikut membahas” RUU dan “dapat” melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang, dengan catatan bahwa kewenangan tersebut hanya terbatas pada undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah (Pasal 22D UUD). Wewenang ini kemudian dirinci dalam UU Susduk sebagai berikut.[7]

  • DPD dapat mengajukan kepada DPR rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan Pusat dan Daerah, pembentukan dan pemekaran, dan penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam, dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan perimbangan keuangan pusat dan daerah (Pasal 42).
  • DPD ikut membahas bersama DPR atas rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan Pusat dan Daerah, pembentukan dan pemekaran, dan penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam, dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan perimbangan keuangan pusat dan daerah, yang diajukan oleh pemerintah atau hak inisiatif DPR (Pasal 43).
  • DPD memberikan pertimbangan kepada DPR atas rancangan undang-undang anggaran pendapatan dan belanja negara, dan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama (Pasal 44).
  • DPD memberikan pertimbangan kepada DPR dalam pemilihan anggota Badan Pemeriksa Keuangan (Pasal 45).
  • DPD dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang mengenai otonomi daerah, pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja negara, pajak. pendidikan, dan agama (Pasal 46).

Namun kesemua wewenang tersebut dilakukan sebelum pembahasan oleh DPR. Artinya, keputusan mengenai undang-undang sepenuhnya ada di tangan DPR dan pemerintah.

Dengan begitu, pertanyaannya adalah: betulkah Indonesia saat ini menerapkan bikameral lemah atau ‘weak bicameralism’ atau ‘soft bicameralism’. Pandangan saya terhadap hal ini adalah bahwa konsep bikameral sendiri sebenarnya tidak diterapkan. Pernyataan yang terdengar melawan arus ini didasarkan pada premis bahwa konsep bikameral lahir justru untuk mendorong adanya checks and balances di dalam lembaga perwakilan. Kata kunci dalam konteks parlemen bikameral (dan dalam politik secara umum) adalah ‘kompetisi’. Perlu ada ‘kompetisi’ antara dewan tinggi dan dewan rendah untuk memunculkan kondisi saling mengontrol yang menimbulkan keseimbangan politik (checks and balances) di dalam parlemen itu sendiri. Dan memang, kebutuhan akan adanya dua dewan dalam satu lembaga perwakilan adalah untuk mewakili konstituensi yang berbeda sehingga terjadi proses deliberasi yang lebih baik. Karena itu pula, biasanya wewenangnya dibuat sedemikian rupa sehingga ada kelebihan dan kekurangan yang didisain berbeda di antara keduanya. Dengan begitu, dapat terjadi proses yang membatasi kewenangan yang berlebihan dari suatu lembaga politik.

Dan jika kita melihat dari bentuk MPR yang ada di indonesia yang diatur dalam peraturan perundang-undangan[8] seperti yang diatur dalam pasal 2 ayat 1 UUD 1945 dan pasal 2 Undang-undang no 22 tahun 2003 tentang susunan kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD yang menyatakan bahwa MPR terdiri atas anggota DPR dan DPD. Yang saya garis bawahi disini adalah kata anggota. Jika yang dimaksud adalah anggota, maka dalam MPR tidak ada kamar-kamar, karena yang menjadi anggota MPR bukanlah suatu institusi tetapi anggota institusi. Hal ini sangat berbeda dengan amerika yang menyatakan dalam konstitusinya bahwa congress terdiri dari senat dan house of representatif.

C. Sistem di amerika

Dewan Perwakilan Amerika Serikat, bersama dengan Senat Amerika Serikat, adalah salah satu dari dua Dewan dari Kongres Amerika Serikat. Masing-masing negara bagian diwakili dalam Dewan Perwakilan secara proporsional sesuai dengan jumlah penduduknya, namun masing-masing negara bagian sekurang-kurangnya mempunyai seorang Anggota Perwakilan. Jumlah seluruh Anggota Perwakilan saat ini ditetapkan 435 orang oleh Undang-Undang Pembagian (Apportionment Act) tahun 1911, meskipun Kongres dapat meningkatkan jumlah itu. Masing-masing Anggota Dewan menjabat selama dua tahun dan dapat dipilih kembali untuk waktu yang tidak terbatas. Ketua Dewan disebut Speaker.

Konsep kongres dua kamar berasal dari keinginan para Bapak Pendiri Amerika Serikat untuk menciptakan sebuah "dewan perwakilan rakyat" yang sedapat mungkin menyerupai dan mengikuti pendapat umum, dibandingkan dengan Senat yang lebih diwarnai oleh perdebatan, yang lebih terdidik dan berhati-hati yang tidak begitu dipengaruhi oleh dorongan sentimen massa. Umumnya Dewan ini disebut "majelis rendah", dan Senat sebagai "majelis tinggi", meskipun Konstitusi AS tidak menggunakan istilah seperti itu. Konstitusi mensyaratkan bahwa persetujuan kedua dewan ini diperlukan agar suatu rancangan undang-undang dapat disetujui.

Untuk itu, sangat menarik untuk menyimak catatan David Cushman Coyle (1955), terutama mengenai latar belakang adanya senat dan House of Representative (DPR) dalam konggres. Dari catatan itu, jelas sistem bikameral Amerika lahir dari pengalaman dan situasi, bukan dari teori politik, apalagi menjiplak seperti yang dilakukan anggota MPR.

Tahun 1774, Amerika menggelar Konggres Kontinental yang pertama. Konggres ini merupakan respons terhadap konflik yang kian menajam dengan Inggris, yang saat itu menduduki Amerika. Konggres Kontinental ini merupakan langkah bagi Amerika, sehingga pada tahun 1776, Konggres Kontinenal mengesahkan deklarasi kemerdekaan.

Kemudian, pada 1777, Konggres menerima usul untuk suatu negara uni federal bagi Amerika, yang selanjutnya dikirim ke seluruh negara bagian untuk diratifikasi. Sekitar empat tahun kemudian (1781), hampir semua negara bagian sudah meratifikasi perjanjian itu, sehingga menjadi Articles of Confederation, konstitusi AS yang pertama.

Sesuai, Articles of Confederation, negara berstatus bebas dan merdeka sesuai hak. Jadi, Amerika hanya menerima kewenangan yang diserahkan negara bagian. Boleh dikatakan, posisi pemerintah pusat sangat lemah, karena kewenangan terbesar ada pada negara bagian.

Dalam masa berlakunya Articles of Confederation terjadi krisis ekonomi, sehingga berbagai kalangan (terutama pedagang) memandang perlu adanya pemerintahan federal yang kuat, guna mengatasi kesulitan ekonomi. Untuk itu, para pedagang dan pengusaha menggelar konperensi antar-negara bagian, yang kemudian melahirkan konvensi di Philadelphia tahun 1787. Konvensi ini menyusun konstitusi, yang memungkinkan adanya pemerintahan yang bertanggung jawab kepada rakyat serta pemberian kewenangan yang lebih luas kepada uni federal.

Sidang di Philadelphia itu tidak berjalan mulus, tapi justru terjadi perbedaan pendapat yang tajam antara wakil dari negara bagian yang besar dan wakil negara bagian kecil. Kedua kubu sama-sama mengajukan usul yang saling bertolak-belakang, karena menyangkut kepentingan masing-masing.

Dari kubu negara bagian besar mengusulkan konsep ”Rencana Virginia”. Sementara dari kubu negara bagian kecil mengusung ”Rencana New Jersey”. Peserta konvensi dituntut untuk memilih satu dari dua rencana. Yang jelas, ”Rencana Virginia” bakal menguntungkan negara bagian yang besar, sekaligus merugikan negara bagian kecil. Sebaliknya, ”Rencana New Jersey” akan merugikan negara bagian besar dan menguntungkan negara bagian kecil.

”Rencana Virginia” menginginkan agar konggres terdiri dari dua dewan. Satu dewan dipilih langsung oleh rakyat. Kemudian, dewan hasil pilihan rakyat itu memilih anggota dewan tinggi dari calon yang diajukan legislatif negara bagian. Namun, komposisi wakil di kedua dewan itu ditentukan berdasarkan jumlah penduduk dan pajak atau kombinasi dari keduanya.

Rencana ini, dengan sendirinya merugikan negara bagian kecil, karena jumlah penduduk dan pajak yang lebih kecil dibandingkan dengan negara bagian yang besar.

Dalam Articles of Confederation, tidak ada sistem seperti itu. Sesuai Articles of Con-federation, setiap negara bagian mempunyai wakil yang sama dengan negara bagian yang besar. Artinya, wakil dari negara bagian besar dan kecil mendapat jatah wakil yang sama dalam Konggres Amerika.

Sebenarnya, usulan kedua mempunyai persamaan, dimana keduanya menginginkan pemisahan antara kekuasaan legislatif, yudikatif dan eksekutif. Namun, perbedaan yang tajam terletak pada soal hubungan legislatif antara negara bagian besar dan kecil.

Menghadapi dua usulan yang saling bertolak belakang itu, peserta berusaha mencari jalan keluar untuk mewujudkan uni federal yang lebih bagus. Adalah William Samuel Jhonson dari Connecticut yang bisa memecahkan persoalan itu.

Solusinya, satu dewan (DPR) diisi berdasarkan jumlah penduduk. Tugasnya, antara lain, berhak merencanakan undang-undang untuk memungut uang(pajak). Satu dewan lagi (senat) diisi berdasarkan negara bagian dengan jumlah yang sama bagi setiap negara bagian. Solusi ini, kemudian terkenal dengan ”Kompromi Connecticut”.

Sesungguhnya, ”Kompromi Connecticut” inilah yang menjadi substansi dari sistem bikameral AS yang dikenal saat ini, meski ada beberapa yang telah dibenahi, seperti anggota senat yang dipilih DPR, belakangan dipilih rakyat secara langsung.

Apa yang dicatat Coyle ini jelas, kalau sistem bicameral Amerika lahir dari situasi konflik kepentingan antara negara bagian besar dan negara bagian kecil. Artinya, sistem bikameral AS lahir karena kebutuhan sejarah. Situasi yang memaksa para negarawan AS untuk mencari solusi, yang dikenal sebagai sistem bikameral itu.

Dalam sistem di Amerika Serikat, presiden mempunyai hak untuk melakukan veto semacam ini dikenal dengan nama "pocket veto". Setelah kedua kamar di Congress (House of Representatives dan Senate) menyetujui suatu UU, presiden dapat melakukan veto, yang kemudian dapat ditolak oleh Congress, yang disebut dengan "override" dengan suara dua pertiga dari masing-masing kamar. Hasil overrding ini kemudian dapat ditolak secara politis oleh presiden melalui pocket veto. Pocket veto digunakan sebagai alat politik yang ampuh untuk menunjukkan kekuatan politik presiden, terutama apabila partai mayoritas di Congress berbeda dengan partai asal presiden yang berkuasa. Tercatat bahwa presiden yang paling banyak melakukan veto dalam sejarah Amerika Serikat adalah Franklin D. Roosevelt yang memveto 138 undang-undang. Dikatakan bahwa ia sengaja menginstruksikan stafnya untuk mencari RUU untuk diveto untuk menunjukkan kekuatannya dalam proses legislasi.

2. Perbedaan antara mejelis permusyawaratan rakyat (MPR) di Indonesia dengan Congress di amerika serikat

Amerika Serikat merupakan negara yang berbentuk federal (walaupun pada awalnya berbentuk konfederasi). Dan mempunyai lembaga pemegang kekuasaan legislatif yang bernama kongres. Kongres terdiri atas 2 kamar yaitu: Senat dan Dewan Perwakilan Rakyat. Amerika mempunyai sistem pengawasan yang baik antar lembaga negara yang dikenal dengan Checks And Balances. Amerika mengawal pendirian negaranya yang dipenuhi berbagai gejolak semenjak negara itu terbentuk[9]. Tetapi semenjak selesai Perang Saudara, Kondisi negara Amerika Serikat mulai stabil, kemudian Amerika Serikat terkenal dengan salah satu penyebar demokrasi dari negara barat, sangat anti komunis. Dalam beberapa kurun waktu pemerintahannya banyak melakukan propaganda anti komunis dan melakukan penyebarannya ke negara lain.[10]

Kongres dan lembaga-lembaga negara yang lain di Amerika Serikat dalam mengambil keputusan menekankan pada kekuatan suara mayoritas seperti yang dikatakan oleh Alexis de Tocqueville bahwa:[11]

the very essence of democratic government consist in the absolute sovereignty of the majority; for there is nothing in the democratic states which is capable of resisting it. Most of the American constitutions have sought to increase this natural strength of the majority by artificial means.

Terjemahan bebas: Hal yang sangat penting dalam pemerintahan yang demokratis terkandung dalam kedaulatan absolut dari mayoritas;tidak ada dalam negara demokratis yang bisa menolak itu. Telah mencari cara untuk meningkatkan kekuatan alam dari mayoritas dengan cara yang konstitusional.

Kongres di Amerika mempunyai 2 lembaga yang jika mereka bertemu dalam suatu tugas dan wewenang tertentu disebut Kongres, Kongres terdiri atas 2 lembaga yaitu:

  1. House Of Representative.
  2. Senate.[12]

Hal ini tidak sama dengan di Indonesia setelah Perubahan UUD 1945. Karena MPR di Indonesia terdiri atas anggota 2 badan yaitu Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah. MPR bukan merupakan 2 badan yang bertemu seperti Kongres Amerika Serikat. Dan ini merupakan perbedaan yang mendasar antara lembaga MPR dengan Kongres Amerika Serikat. Sehingga tidak bisa diperbandingkan antara komposisi dan struktur lembaga Kongres dan MPR.

Karena struktur dan sistem parlemen yang berbeda, maka yang dibandingkan adalah tugas dan wewenang yang dipunyai Kongres. Karena tidak ada negara lain sepanjang sepengetahuan penulis yang menerapkan sistem parlemen trikameral kecuali Negara Cina Taiwan sebelum berubah[13]. Dan yang akan diperbandingkan disini adalah sistem parlemen yang dalam konstitusi masih berlaku. Sehingga yang sering dijadikan contoh adalah Amerika Serikat maka MPR diperbandingkan dengan Kongres di Amerika Serikat. Karena mekanisme lembaga parlemen yang baik, walaupun Amerika menganut sistem bikameral yang jelas berbeda dengan Indonesia.

Di Amerika Serikat jelas dinyatakan bahwa fungsi negara terdiri atas 3 yaitu :

  1. Fungsi Legislatif.
  2. Fungsi Eksekutif.
  3. Fungsi Yudikatif.

Sedangkan di Indonesia tidak menganut pemisahan kekuasaan tersebut secara mutlak[14].

Semua fungsi yang ada di Amerika Serikat dalam pelaksanaannya dibuatlah mekanisme Checks And Balances yang bertujuan untuk menghindari kekuasaan terpusat pada satu lembaga.[15]

Di Indonesia setelah di Perubahan UUD 1945 maka kekuasaan legislatif ada pada Dewan Perwakilan Rakyat. Kekuasaan eksekutif ada di tangan Presiden. Dan kekuasaan yudikatif ada ditangan Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. Dalam menjalankan tugasnya maka Kongres dan MPR mempunyai persamaan dan perbedaan. Yang memegang kekuasaan legislatif ada ditangan kongres, sedangkan di Indonesia ada ditangan DPR.

Setelah Perubahan UUD 1945 maka MPR RI diatur sebagai lembaga negara yang sama dengan negara lain. Sehingga kedudukannya sama dengan lembaga-lembaga negara yang lain. Pada masa sesudah Perubahan UUD 1945 tugas utama MPR adalah:

“ Melantik Presiden dan Wakil Presiden”[16]

Ada tugas yang dilaksanakan secara temporer dan akan berakhir pada tahun 2003. Tugas ini ada dalam Aturan Tambahan UUD 1945 pasal I, yaitu:“ Majelis Permusyawaratan Rakyat ditugasi untuk melakukan peninjauan terhadap materi dan status hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat untuk diambil putusan pada Sidang Majelis Permusywaratan Rakyat tahun 2003.[17]

Sedangkan wewenang MPR adalah sebagai berikut:

1. Majelis permusyawaratan Rakyat berwenang mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar.

2. Majelis Permusyawaratan hanya dapat memberhentikan Presiden dan atau/Wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut Undang-Undang Dasar.

3. Menetapkan Presiden dan Wakil Presiden pengganti sampai terpilihnya Presiden dan/atau Wakil Presiden pengganti sampai terpilihnya dan/atau Wakil Presiden sebagaimana mestinya.

Kongres di Amerika Serikat mempunyai kekuasaan legislatif dan hal ini jelas tercantum dalam konstitusinya bahwa[18]:

Section 1. All legislative Powers herein granted shall be vested in a Congress of the United States, which shall consist of a Senate and House of Representatives.

Terjemahan bebas: Seluruh kekuasaan ada di Kongres Amerika Serikat dan terdiri atas Senate dan House Of Representatif.

Sedangkan Kewenangan yang lain adalah yang diberikan oleh Undang-Undang Dasarnya adalah[19] :

1) Passes federal laws. (Menyetujui Undang-Undang federal)

2) Passes federal budget, levies taxes and funds executive functions (Menyetujui anggaran federal, pajak dan fungsi keuangan eksekutif)

3) Establishes lower federal courts, judicial positions (untuk membuat peradilan rendah federal, menentukan posisinya)

4) Approves treaties and federal appointments (menyetujui perjanjian internasional dan pengangkatan pejabat federal)

5) Declares war (menyatakan perang).

Kewenangan-kewenangan diatas merupakan kewenangan garis besar yang dinyatakan dalam Konstitusi Amerika Serikat. Dan kewenangan-kewenangan lain secara jelas dinyatakan dalam Konstitusinya pada pasal 8.

Dari kewenangan-kewenangan diatas maka dapat disimpulkan persamaan kewenangan Kongres di Amerika Serikat dengan Majelis Permusyawaratan Rakyat adalah:

1. Mengubah Undang-Undang Dasar

2. Memberhentikan Presiden dan Wakil Presiden.

Sedangkan tugas tidak dinyatakan secara jelas dalam Konstitusinya sehingga tugas dari Kongres Amerika Serikat adalah:

Section 2. The Congress shall assemble at least once in every year, and such meeting shall begin at noon on the third day of January, unless they shall by law appoint a different day.

Terjemahan bebas: Kongres bertugas mengadakan sidang sekurang-kuangnya setiap tahun, dan mengadakan pertemuannya dimulai siang hari pada hari ketiga januari, kecuali ditentukan lain oleh undang-undang.

Jika dibandingkan dengan tugas yang dilakukan oleh MPR maka dalam hal ini berbeda. Tugas MPR adalah melantik presiden dan wakil presiden, sedangkan dalam kongres adanya tugas atau keharusan untuk mengadakan sidang setiap tahunnya.

Kesamaannya adalah tugas yang dilakukan adalah tugas yang dilakukan setiap kali dan dilakukan untuk memenuhi ketentuan dalam Undang-Undang Dasar.

ANALYSIS Kondisi sosial dan kecenderungan masyarakat

Amerika Serikat terdiri atas berbagai penduduk imigran yang sebagian berasal dari Inggris, Perancis dan berbagai masyarakat Eropa pada saat itu. Sehingga secara kultur Amerika Serikat mempunyai kebudayaan yang sangat beragam. Hal ini mempengaruhi demokrasi yang ada di Amerika Serikat dan juga mempengaruhi berbagai system kehidupan di Amerika Serikat. Dan menurut de Tocqueville ada persamaan yang ada dalam berbagai imigran yaitu persamaan bahasa. Hal inilah menurut de Tocqueville yang menyatukan berbagai suku bangsa di Amerika Serikat.

Amerika Serikat (disingkat A.S.) atau (bahasa Inggris: United States of America - USA atau United States - U.S.) adalah sebuah republik federal yang terdiri dari 50 negara bagian. Kecuali Alaska (utara Kanada) & Hawaii (lautan Pasifik), 48 negara bagian lainnya terletak di Amerika Utara.

Amerika Serikat berbatasan dengan Meksiko dan Teluk Meksiko di sebelah selatan, dan dengan Kanada di sebelah utara dan barat laut (eksklave Alaska). Di sebelah barat negara ini berbatasan dengan Samudra Pasifik dan di sebelah timur dengan Samudra Atlantik. Selain itu masih ada banyak daerah dan koloni di banyak belahan dunia, seperti Hawaii, yang merupakan sebuah negara bagian, dan daerah-daerah lainnya seperti Puerto Riko, Guam dan lain sebagainya yang termasuk dalam persemakmuran.

Amerika terbentuk dari 13 bekas koloni Britania Raya yang memerdekakan diri pada tanggal 4 Juli 1776. Setelah itu Amerika berekspansi secara besar-besaran, membeli daerah Louisiana dari Perancis serta Alaska dari Rusia serta menganeksasi daerah-daerah milik Meksiko yaitu New Mexico, Texas, dan California) seusai Perang Meksiko-Amerika.

Amerika adalah negara dengan wilayah terbesar keempat di dunia, setelah Rusia, Kanada, dan Tiongkok & ketiga terbesar dalam jumlah penduduk, setelah Tiongkok dan India. Tetapi jika dilihat dari segi ekonomi, Amerika adalah nomor satu di dunia, meliputi kira-kira seperempat hingga sepertiga total keluaran ekonomi dunia. Model pemerintahannya yang demokrasi presidensiil, diikuti oleh negara-negara Amerika Latin lainnya.

Penduduk amerika adalah Masyarakat Anglo Amerika Serikat yang merupakan bangsa yang pertama yang tidak mengalami suatu era kekuasaan absolute menurut Alexis de Tocqueville. Lebih lanjut Alexis de Tocqueville menjelaskan juga bahwa dari seluruh karakter yang ada pada bangsa Amerika Serikat maka karakter demokratislah yang menonjol pada bangsa Amerika Serikat.

Di Amerika Serikat, kekuasaan mayoritas seringkali dilakukan dalam berbagai hal sehingga menimbulkan pemerintahan dan masyarakat yang absolute sebagai suatu kekuatan absolut(despot), dam merupakan instrumen sesungguhnya dari kekuasaan yang tiran.

Hal ini dapat dilihat dari berbagai keputusan yang berdasar suara terbanyak (mayoritas), legislator yang dipilih oleh mayoritas, sehingga undang-undang dan berbagai produk hukum berdasar atas suara mayoritas, hal ini menyingkirkan kelompok minoritas dalam negara untuk ikut berpartisipasi dalam pengambilan keputusan.

Penyebab dasar yang mempertahankan Republik Demokratis di Amerika Serikat menurut Alexis adalah bahwa keinginan bebas dan mempertahankan asas demokrasi dan beberapa prinsip kehidupan bernegara dari rakyatnya-lah yang memfasilitasi terjaganya republik yang demokratis di Amerika Serikat. Bangsa Amerika Serikat tidak mempunyai tetangga, kehidupannya sangat individualistis sehingga mereka tidak mempunyai perang besar ataupun krisis finansial.

Metode filsafat masyarakat Amerika Menurut Alexis de Tocqueville adalah tidak ada bangsa dalam peradaban dunia yang kurang memperhatikan dengan mendalam masalah filosofi selain di Amerika Serikat, hal ini dapat dilihat dari tidak adanya sekolah filosofi yang dimiliki oleh Negara Amerika Serikat.

Ada beberapa contoh yang menggambarkan karakter metode masyarakat Amerika seperti:

1. menghindari ikatan sistem dan kebiasaan, jargon keluarga, pendapat antar kelas masyarakat.

2. menerima tradisi hanya sebagai informasi dan fakta-fakta sebagai pelajaran untuk melakukan hal yang lebih baik;

3. mencari alasan sendiri untuk sendiri;

4. cenderung ke hasil tanpa harus terikat dengan cara dan untuk menuju inti melalui bentuk.

Dan menurut Alexis de Tocqueville bahwa setiap rakyat Amerika menganut prinsip usaha individu atau pribadi dalam mencari pengertiannya.

Dalam Konstitusi Amerika Serikat fungsi Negara terbagi atas 3 fungsi yaitu:

1. Fungsi Legislatif.

2. Fungsi Eksekutif.

3. Fungsi Yudikatif.[20]

Fungsi-fungsi tersebut dilaksanakan berdasarkan konstitusi Amerika Serikat dan di lakukan dengan suara mayoritas dalam pengesahan undang-undang dalam kongres Amerika Serikat.[21]

Section 1. All legislative Powers herein granted shall be vested in a Congress of the United States, which shall consist of a Senate and House of Representatives.

Comment: Congress controls all power to write legislation, and has two chambers—the House of Representatives and the Senate.[22]

Sehingga kekuasaan di Amerika Serikat sangat dipengaruhi oleh kekuasaan mayoritas walaupun secara konsep filsafat hukum hal ini diprotes oleh Plato dalam Nomoi.[23]

Beberapa hal diatas menunjukkan bagaimana sistem parlemen yang ada di amerika yang sebenarnya adalah dipengaruhi oleh kondisi sosial dan kecenderungan masyarakat itu sendiri, sehingga jika kita bandingkan dengan kondisi yang ada di indonesia hal tersebut tentunya kurang sesuai karena secara filosofis bertolak belakang dengan indonesia. Dalam beberapa artikel karangannya bung karno, menyebutkan bahwa indonesia adalah negara yang berdasarkan pada “kegotong-royonyan” hal ini menunjukkan bahwa indonesia adalah negara yang cenderung sosialis, dan di amerika yang federal memang karena kecenderungan masyarakatnya individualis.

BAB III

PENUTUP

III.1. Kesimpulan

Pada perumusannya, MPR tidaklah terdiri dari dua kamar, namun terdiri atas dua anggota kamar, sehingga tidak dapat dikatakan sebagai bikameral sistem, karena yang dikatakan sebagai bikameral sistem adalah terdiri dari dua badan/lembaga. Lembaga legislatif dalam fungsi dasarnya akan selalu membuat posisi terhadap eksekutif. Sebagai lembaga perwakilan rakyat, lembaga legislatif akan menjalankan fungsi kontrol terhadap eksekutif dan memberikan panduan dasar bagi eksekutif dalam bentuk kebijakan makro (legislasi, anggaran). Dalam sistem pemerintahan parlementer, perhadapan maupun perkongsian antara eksekutif dan legislatif tidak akan terlalu kentara pada relasi mereka, namun akan tercermin pada dinamika internal di parlemen. Sebab pemerintahan justru lahir dari pengelompokkan visi politik di dalam parlemen terpilih. Dan kelompok (atau beberapa kelompok) lainnya akan menjadi lawan-lawan politik yang efektif bagi pemerintahan mayoritas. Dalam sistem pemerintahan presidensial tidak ada fokus kekuasaan. Sebab cabang-cabang kekuasaan negara terbagi secara lebih ketat dengan eksekutif yang biasanya dipilih tersendiri, dan tidak berasal dari parlemen terpilih. Kondisi inilah yang terjadi di Indonesia yang menganut sistem presidensial. Disain politik seperti ini digabungkan dengan disain konstitusional mengenai proses legislasi, melahirkan suatu tidak ada kompetisi politik di arena legislasi. Di satu sisi sikap-sikap politik di DPR yang berkaitan dengan kebijakan pemerintahan yang berdampak luas lebih banyak dipengaruhi oleh perebutan kekuasaan di wilayah eksekutif. Namun di sisi lainnya, untuk soal legislasi, pemerintah yang lebih dominan dan DPR lebih lemah. Pelaksanaan fungsi pengawasan dan fungsi anggaran DPR lebih menonjol ketimbang fungsi legislasinya karena pada dua wilayah inilah DPR dapat menunjukkan dengan kuat dukungan atau penolakannya atas kebijakan yang sudah dilaksanakan atau sedang direncanakan oleh pemerintah. Fungsi legislasi agaknya dianggap tidak strategis untuk menunjukkan sikap ini. Ada dua kemungkinan penyebabnya. Pertama, fungsi legislasi berjalan lambat dan membutuhkan penguasaan substansi dan teknis yang tinggi karena pembahasannya mencakup pengaturan yang sifatnya rinci. Kedua, banyak kompromi yang bisa diakomodasi dalam rincian pasal-pasal sehingga ‘daya kontroversi’nya lebih sedikit dibandingkan dengan unjuk sikap pada fungsi pengawasan dan anggaran. Karena itulah, wujud hubungan DPR dan pemerintah lebih banyak mencuat pada soal anggaran dan pengawasan. Untuk soal legislasi, DPR lebih banyak mengikuti masukan pemerintah namun di sisi lainnya, kapasitas DPR sendiri sangat terbatas sehingga kalaupun ada inisiatif yang dipergunakan, kebanyakan sifatnya seperti bola liar, tergantung pada konfigurasi politik DPR yang sangat berwarna. Akibatnya, politik legislasi Indonesia tidak mendapat arah yang jelas.

Perbedaaan antara MPR dan congress yang sangat jelas adalah pada fungsi legislasinya, dimana bila di MPR tidak mempunyai fungsi legislasi, namun congress mempunyai fungsi legislasi, bahkan dalam undang-undang dasarnya disebutkan bahwa seluruh kekuasaan legislasi ada pada congress. Dan dalam mekanisme pembahasannya pun, terdapat pola-pola hubungan yang baik antara senat dan house of representatif. Namun juga pola-pola sistem bikameral ini sangat dipengaruhi oleh kebudayaan masyarakat amerika, baik secara historis, antropologis maupun sosiologis.

III.2. Saran

Dalam memahami mengenai system yang ada di Indonesia perlu dilakukan pengkajian yang lebih lanjut, karena ketika salah memahami akan system tersebut, maka yang terjadi adalah velesis. System bicameral di amerika terjadi karena tuntutan sejarah, sedangkan di Indonesia adalah meniru-niru system yang ada di amerika, padahal Indonesia mempunyai sejarah yang berbeda. Untuk itu para pembuat undang-undang seyogyanya harus mempertimbangkan banyak hal sebelum menetapkan suatu undang-undang. Selain itu perlu adanya pola-pola yag lebih jelas dalam pengaturan fungsi-fungsi lembaga legislative yang efektif dan fungsionil.

Kondisi social antara amerika dan Indonesia berbeda, dan hokum selalu linear. Sehingga hokum berikut system hokum di Indonesia dan amerika pun berbeda. Untuk itu kurang sesuai jika yang dilakukan oleh pembuat kebijakan adalah adopsi, seharusnya yang dilakukan apabila memang mempunyai banyak kesamaan adalah inspirasi. Jadi hokum di Indonesia bisa saja terinspirasi oleh suatu system hokum tertentu.

DAFTAR REVERENSI

Alexis de Tocqueville, Democracy In America, Washington Square Press, New York, 1965

Arend Lijphart, democracy in America, 1999

Burns, Peltason, Cronin, Government By The People, Prentice Hall, New Jersey, 1989

Douglas V. Verney, artikelnya berjudul Parliamentary Government And Presidential Government

Giovanni Sartori, Comparative Constitutional Engineering An Inquiry into Structures, Incentives, and Outcomes

Guilermo O’Donnel, Philippe C Schmitter, Laurence Whitehead, Transisi Menuju Demokrasi Kasus Eropa Selatan, Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi Dan Sosial, Jakarta, 1992Larry, Diamond, Revolusi Demokrasi Perjuangan Untuk Kebebasan Dan Pluralisme Di Negara Sedang Berkembang, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1994

Ismail Suny, Pembagian Kekuasaan Negara, Aksara Baru, Jakarta, 1985

Jimly Asshiddiqie, Konsolidasi Naskah Perubahan Keempat Undang Undang Dasar 1945

Paul Eidelberg, The Philosophy Of The American Constitution, The Free Prees, New York, 1968

Soetiksno, Filsafat Hukum Bagian 2, Jakarta:PT Pradnya Paramita, 2003

Sri Soemantri. 1981. Pengantar Perbandingan Antar Hukum Tata Negara, CV. Rajawali, Jakarta, 1981

Undang-undang no 22 tahun 2003 tentang susunan kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD

Undang-Undang Dasar 1945

Dan beberapa sumber dari internet



[1] Sri Soemantri, Pengantar Perbandingan Antar Hukum Tata Negara, CV. Rajawali, Jakarta, 1981,h.69

[2] - Kecuali Negeri Belanda yang sebutan untuk majelis pertama (erste kamer) adalah majelis tinggi, sedangkan majelis kedua (tweede kamer) adalah majelis rendah. Diberbagai negara majelis tinggi ini diberi nama yang khas seperti House of Lords (Inggris), Dewan Negara (Malaysia), National Council (Afrika Selatan), Bundesrat (Jerman), Rajya Sabha (india), Sanggi-in (Jepang).

[3] Beberapa negara yang tadinya menganut sistem bikameral telah beralih ke unikameral yaitu Selandia Baru (1950), Denmark (1953), Swedia (1971). Namun ada juga yang tadinya unikameral berubah ke bikameral seperti Comorros (1992) dan tentunya Indonesia sendiri.

[4] Giovanni Sartori dalam bukunya yang berjudul Comparative Constitutional Engineering: An Inquiry into Structures, Incentives, and Outcomes dan Douglas V. Verney dalam artikelnya berjudul Parliamentary Government And Presidential Government

[5] Arend Lijphart: 1999, hal. 203-205

[6] Ibid hal .206

[7] Undang-undang no 22 tahun 2003 tentang susunan kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD pasal 42-46

[8] UUD 1945 dan Undang-undang no 22 tahun 2003 tentang susunan kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD pasal 42-46

[9] Larry, Diamond, Revolusi Demokrasi Perjuangan Untuk Kebebasan Dan Pluralisme Di Negara Sedang Berkembang, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1994, h.7

[10] Guilermo O’Donnel, Philippe C Schmitter, Laurence Whitehead, Transisi Menuju Demokrasi Kasus Eropa Selatan, Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi Dan Sosial, Jakarta, 1992, h. 222

[11] Alexis de Tocqueville, Democracy In America, Washington Square Press, New York, 1965, h.90

[12] Article 1, Section 1, The Constitution Of United States Of America

[13] Jimly Asshiddiqie, Konsolidasi Naskah Perubahan Keempat Undang Undang Dasar 1945, h. 42-45

[14] Ismail Suny, Pembagian Kekuasaan Negara, Aksara Baru, Jakarta, 1985, h.1-4.

[15] Burns, Peltason, Cronin, Government By The People, Prentice Hall, New Jersey, 1989, h.23

[16] Jimly Asshiddiqie, Konsolidasi Naskah Perubahan Keempat Undang Undang Dasar 1945, h.5.

[17] Ibid, h.63

[18] Paul Eidelberg, The Philosophy Of The American Constitution, The Free Prees, New York, 1968, h.54

[19] Microsoft ® Encarta ® Reference Library 2003. © 1993-2002

[20] Ismail Suny, Pembagian Kekuasaan Negara, Aksara Baru, Jakarta, 1985, h.1-4.

[21] Amerika Serikat, Konstitusi Amerika Serikat

[22] Microsoft® Encarta® Reference Library 2003. © 1993-2002 Microsoft Corporation. All rights reserved.

[23] Soetiksno, Filsafat Hukum Bagian 2, Jakarta:PT Pradnya Paramita, 2003