Rabu, 26 November 2008

PERBANDINGAN MPR DENGAN CONGRESS

RESEARCH DESIGN

Perbandingan Majelis Permusyawaratan Rakyat Indonesia Dengan Congress di Amerika Serikat




Oleh:

Mahmud Zamzami

05.01.111.00411

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS INDONESIA

2008

BAB I

PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang

Di Indonesia, setelah terjadi amandemen undang-undang dasar telah terjadi perubahan susunan lembaga-lembaga Negara beserta kewenangannya, dintaranya adalah pada Majelis Pemusyawaratan Rakyat(MPR), beberapa perubahan pada lembaga ini adalah hapusnya kewenangan MPR untuk membuat GBHN, dan memilih presiden dan wakil presiden (dalam keadaan normal).

Perubahan selanjutnya adalah adanya lembaga baru yaitu DPD (Dewan Perwakilan Daerah) yang bertujuan untuk mewakili daerahnya masing-masing untuk melakukan kegiatan politis terkait dengan aspirasi daerahnya dan perumusan undang-undang yang menyangkut kepentingan daerahnya. DPD merupakan perwakilan daerah yang dipih langsung oleh masyarakat/warga Negara melalui proses pemilu. Hal ini mencerminkan bahwa di Indonesia menganut sistem bikameral.

Adanya dua kamar ini tercermin dari adanya dua lembaga yang merumuskan dan membahas undang-undang yaitu DPR dan DPD, hal ini terinspirasi oleh sistem yang ada di amerika serikat yaitu adanya senat dan house of representatif yang melakukan pembahasan terhadap undang-undang, dan lain-lain yang akhirnya diadopsi oleh Indonesia dalam amandemen undang-undang dasar.

Dalam hubungannya dengan Majelis Permusyawaratan Rakyat, DPD merupakan bagian dari Majelis Permusyawaratan Rakyat, hal ini diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 2 yang menyatakan bahwa “Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri atas anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Daerah yang dipilih melalui pemilihan umum”.

sistem dua kamar (bikameral)—DPR dan DPD merupakan jiplakan sistem bicameral (Senat dan DPR) di Amerika. Ini pengakuan Wakil Ketua Panitia Adhoc (PAH) I BP MPR, Harun Kamil. Sebenarnya, tanpa pengakuan pun, berbagai kalangan sudah paham soal itu. Toh, kalaupun menjiplak bukan dosa, sejauh itu memang positif. Hanya saja, bisa menjadi soal kalau menjiplak sekadar menjiplak tanpa tahu mengapa, dari mana, untuk apa dan mau ke mana. Pasti, MPR memahami dan mengetahui hal itu.

Secara anatomi politik, memang sangat sulit untuk menerapkan sistem bicameral Amerika ke dalam sistem politik di Indo-nesia. Karena, baik sistem politik maupun pemerintahan yang berbeda. Misalnya, sistem bikameral Amerika sangat terkait dengan sistem federal. Untuk itu, bicameral mungkin baik bagi Amerika, tapi belum tentu cocok bagi Indonesia.

Menyimak latar belakang keberadaan sistem bikameral Amerika, sesungguhnya sistem itu lahir dari pergulatan politik dari elit politik Amerika. Sistem itu lahir sebagai solusi untuk meredam pertentangan elite mengenai pola perwakilan dalam Konggres AS, ketika menyusun konstitusi.

I.2. Rumusan Masalah

Dalam makalah ini yang menjadi masalah adalah:

  1. Apakah Indonesia memakai sistem bikameral seperti di amerika serikat?
  2. Apa perbadaan antara mejelis permusyawaratan rakyat (MPR) di Indonesia dengan Congress di amerika serikat?

BAB II

PEMBAHASAN

1. Apakah Indonesia memakai sistem bikameral seperti di amerika serikat

A. Sistem Bikameral

Sistem parlemen bikameral dimulai di Inggris pada abad ke 14, dan sejak itu diterapkan di negara-negara daratan Eropa serta di Amerika. Sistem bikameral di negara negara yang disebut “dunia pertama” itu berlatar belakang sejarah dan tradisi yang panjang. Sedangkan di wilayah lain tumbuh bersama dengan konstitusi yang lahir dengan kemerdekaan atau yang lahir bersama reformasi setelah perubahan sistem pemerintahan menjadi demokrasi.

Sistem bikameral atau dua kamar adalah sistem parlemen yang terbagi atas 2 lembaga legislatif dalam suatu struktur negara. Dalam menjalankan tugasnya kedua lembaga ini mempunyai tugas-tugas tertentu.

Pada prinsipnya, kedua kamar majelis dalam sistem bikameral ini memiliki kedudukan yang sederajat. Satu sama lain tidak saling membawahi, baik secara politik maupun secara legislatif. Undang-undang tidak dapat ditetapkan tanpa persetujuan bersama ataupun melalui sidang gabungan diantara kedua majelis itu.

Pembagian ini dikritik oleh C.F. Strong yang menyatakan sebagai tidak tepat atau tidak riil karena apabila klasifikasi ini kita pergunakan maka kita akan menyamakan negara-negara yang tidak melakukan pemilihan anggota badan perwakilan menjadi satu dengan negara-negara yang melakukan pemilihan anggota badan perwakilan dengan pemilihan umum.[1]

Sistem bikameral adalah wujud institusional dari lembaga perwakilan atau parlemen

sebuah Negara yang terdiri atas dua kamar (majelis). Majelis yang anggotanya dipilih dan mewakili rakyat yang berdasarkan jumlah penduduk secara generik disebut majelis pertama atau majelis rendah, dan dikenal juga sebagai House of Representatives. Majelis yang anggotanya dipilih atau diangkat dengan dasar lain (bukan jumlah penduduk), disebut sebagai majelis kedua atau majelis tinggi dan di sebagaian besar negara (60%) disebut sebagai Senate (dengan berbagai variasinya seperti sénat, senato, senado, senatuil).[2]

Sistem dua kamar adalah praktik pemerintahan yang menggunakan dua kamar legislatif atau parlemen. Jadi, parlemen dua kamar (bikameral) adalah parlemen atau lembaga legistlatif yang terdiri atas dua kamar. Di Britania Raya sistem dua kamar ini dipraktikkan dengan menggunakan Majelis Tinggi (House of Lords) dan Majelis Rendah (House of Commons). Di Amerika Serikat sistem ini diterapkan melalui kehadiran Senat dan Dewan Perwakilan.

Indonesia juga menggunakan sistem yang agak mendekati sistem dua kamar melalui kehadiran Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang terdiri dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD), meskipun dalam praktiknya sistem ini tidak sempurna karena masih terbatasnya peran DPD dalam sistem politik di Indonesia.

Selain lahir dari tradisi dan sejarah yang panjang, diterapkannya bikameralisme dalam sistem perwakilan diberbagai negara pada umumnya didasarkan atas dua pertimbangan (lihat Patterson dan Mughan 1999):

1) Representation, perlunya perwakilan yang lebih luas dari pada hanya atas dasar jumlah penduduk. Dalam hal ini yang paling utama adalah pertimbangan keterwakilan wilayah. Maka acapkali dikatakan bahwa majelis rendah mencerminkan dimensi popular (penduduk) sedangkan majelis tinggi mencerminkan dimensi teritorial (Tsebelis dan Money ibid). Namun ada pula negara yang menerapkan azas keterwakilan berdasarkan keturunan, dan kelompok sosial, seperti agama, budaya dan bahasa, kelompok ekonomi, serta kelompok minoritas, yang dalam sistem yang menganut satu majelis, kepentingan-kepentingan tersebut dapat tenggelam karena tidak cukup terwakili.

2) Redundancy, perlu adanya sistem yang menjamin bahwa keputusan-keputusan politik yang penting, dibahas secara berlapis (redundancy) sehingga berbagai kepentingan dipertimbangkan secara masak dan mendalam.

Menurut pendapat para ahli, sistem bikameral mencerminkan prinsip checks and balances bukan hanya antar cabang-cabang kekuasaan negara (legislatif, eksekutif, yudikatif) tapi juga di dalam cabang legislatif itu sendiri. Dengan demikian maka sistem bikameral dapat lebih mencegah terjadinya tirani mayoritas maupun tirani minoritas (Patterson dan Mughan 1999).

Masalah yang seringkali ditampilkan sebagai penolakan terhadap sistem bikameral, adalah efisiensi dalam proses legislasi; karena harus melalui dua kamar, maka banyak anggapan bahwa sistem bikameral akan menganggu atau menghambat kelancaran pembuatan undang-undang. Sejak awal memang banyak yang sudah mempersoalkan manfaat yang dapat diperoleh dari adanya dua sistem seperti tersebut di atas dibanding dengan “ongkos yang harus dibayar” dalam bentuk kecepatan proses pembuatan undangundang.[3]

Maka negara-negara yang menganut sistem bikameral dengan caranya masing-masing telah berupaya untuk mengatasi masalah tersebut, antara lain dengan membentuk conference committee untuk menyelesaikan perbedaan yang ada antara dua majelis tersebut, sehingga dewasa ini persoalan itu tidak dipandang lagi menjadi faktor penghambat. Dilihat dari segi kewenangan yang dimiliki majelis tinggi, sistem bikameral pada umumnya dibagi dalam dua kategori: kuat dan lemah.

Beberapa sistem bikameral:

Sistem bikameral Federalis

Beberapa negara, seperti Australia, Amerika Serikat, India, Brasil, Swiss, dan Jerman, mengaitkan sistem dua kamar mereka dengan struktur politik federal mereka.

Di AS, Australia dan Brazil, misalnya, masing-masing negara bagian mendapatkan jumlah kursi yang sama di majelis tinggi badan legislatif. Tidak peduli perbedaan jumlah penduduk antara masing-masing negara bagian. Hal ini dirancang untuk memastikan bahwa negara-negara bagian yang lebih kecil tidak dibayang-bayangi oleh negara-negara bagian yang penduduknya lebih banyak. (Di AS, kesepakatan yang menjamin pengaturan ini dikenal sebagai Kompromi Connecticut.) Di majelis rendah dari masing-masing negara, pengaturan ini tidak diterapkan, dan kursi dimenangkan semata-mata berdasarkan jumlah penduduk. Karena itu, sistem dua kamar adalah sebuah metode yang menggabungkan prinsip kesetaraan demokratis dengan prinsip federalisme. Semua suara setara di majelis rendah, sementara semua negara bagian setara di majelis tinggi.

Dalam sistem India dan Jerman, majelis tinggi (masing-masing dikenal sebagai Rajya Sabha dan Bundesrat), bahkan lebih erat terkait dengan sistem federal, karena para anggotanya dipilih langsung oleh pemerintah dari masing-masing negara bagian India atau Bundesland Jerman. Hal ini pun terjadi di AS sebelum Amandemen ke-17.

Sistem dua kamar kebangsawanan

Di beberapa negara, sistem dua kamar dilakukan dengan menyejajarkan unsur-unsur demokratis dan kebangsawanan.

Contoh terbaik adalah Majelis Tinggi (House of Lords) Britania Raya, yang terdiri dari sejumlah anggota hereditary peers. Majelis Tinggi ini merupakan sisa-sisa sistem kebangsawanan yang dulu pernah mendominasi politik Britania Raya, sementara majelis yang lainnya, Majelis Rendah (House of Commons), anggotanya sepenuhnya dipilih. Sejak beberapa tahun lalu telah muncul usul-usul untuk memperbarui Majelis Tinggi, dan sebagian telah berhasil. Misalnya, jumlah hereditary peers (berbeda dengan life peers) telah dikurangi dari sekitar 700 orang menjadi 92 orang, dan kekuasaan Majelis Tinggi untuk menghadang undang-undang telah dikurangi.

Sebuah contoh lain dari sistem dua kamar kebangsawanan adalah House of Peers Jepang, yang dihapuskan setelah Perang Dunia II

B. Sistem di indonesia

Pada amandemen UUD pertama pada 1999, muncul keinginan kuat untuk membatasi kekuasaan presiden sebagai akibat dari "trauma" politik kekuasaan presiden yang berlebihan dalam UUD 1945 sebelum diamandemen. Namun alih-alih menciptakan keseimbangan kekuasaan (checks and balances), yang dihasilkan justru sebuah konstitusi yang bersifat legislative heavy. Ini terlihat dari kekuasaan legislatif yang melingkupi mulai dari pembuatan undang-undang sampai wewenang kontrol yang diterjemahkan sampai pada keharusan bagi setiap duta besar negara lain yang dikirim ke Indonesia.

Apa yang salah dengan legislative heavy? Tentu tidak ada yang mutlak benar dan salah dalam sebuah sistem politik. Namun yang menjadi soal adalah bagaimana sistem politik ini didisain. Di sini, pertanyaan mengenai kompetisi politik menjadi penting karena disain lembaga-lembaga politik sesungguhnya, dipercayai, berangkat dari soal menciptakan ruang-ruang untuk berkompetisi sehingga pada akhirnya ada suatu kondisi "keseimbangan" yang dibahasakan sebagai "checks and balances".

Mencermati hasil perubahan ketiga UUD 1945 dalam sidang tahunan 2001, tidak bisa tidak, pola perwakilan di parlemen telah menganut sistem dua kamar. MPR terdiri dari dua kamar. Satu kamar adalah DPR dan satu kamar lagi Dewan Perwakilan Daerah (DPD). DPR dipilih dalam Pemilu berdasarkan jumlah suara, sementara DPD, juga dipilih dalam Pemilu berdasarkan provinsi.

Jumlah anggota DPD dalam MPR dari setiap provinsi sama. Tapi, tidak lebih dari 1/3 jumlah anggota DPR. Komposisi ini, juga mirip sistem bikameral di AS, dimana jumlah anggota senat lebih sedikit dari anggota DPR. Tapi, kewenangan senat sangat berimbang dengan kewenangan DPR. Bahkan, masa tugas senator lebih lama ketimbang DPR. Ini tidak tampak dalam bicameral Indonesia.

Mengenai DPD dan DPR dalam MPR, tampak DPR memiliki kewenangan yang lebih luas dibandingkan DPD. Bahkan, DPD tidak mempunyai kewenangan yang sangat cukup signifikan sebagai wakil daerah. Kalau dibandingkan dengan bikameral AS, kepuasan negara bagian yang besar dan kecil, bukan sekadar terwakili dalam konggres. Tapi, roh dari bikameral AS itu terletak pada bargaining position yang seimbang. Sebuah undang-undang hanya sah kalau disetujui senat dan DPR.

Dengan posisi yang sama kuat, maka meski wakil dari negara bagian yang besar lebih banyak di DPR, tapi tidak membuat UU yang merugikan negara bagian kecil, karena UU itu bisa dimentahkan dalam senat. Tapi, apa yang ditemukan dalam bikameral Indonesia, DPD tidak lebih sebagai pelengkap dan formalitas belaka. Bisa saja, hal ini ditepis dengan alasan, karena di DPR sudah ada perwakilan dari daerah. Kalau ini benar, berarti DPD menjadi tidak penting, sehingga tidak perlu dibentuk lagi.

Dari kewenangan yang diatur dalam ayat 1-3, pasal 22D, DPD nyaris tak mengemban fungsi legislasi. Suatu ketika, keberadaan DPD dan hubungannya dengan DPR akan berpotensi melahirkan kerancuan. Tidak adanya fungsi legislasi itu, terlihat dari kewenangan DPD yang hanya mengajukan RUU yang berkaitan dengan persoalan daerah kepada DPR. Jadi, DPD sebatas mengajukan, bukan mengambil keputusan. Mengajukan RUU bukan fungsi legislasi.

Kewenangan kedua, DPD ikut membahas RUU yang berkaitan dengan daerah. Ini tidak jelas, hanya sekadar ikut membahas atau mengambil keputusan? Sekali lagi, kalau sekadar membahas RUU tidak bisa dikatakan DPD memiliki fungsi legislasi. Kewenangan lain, DPD memberikan pertimbangan kepada DPR mengenai RUU APBN, RUU Pajak, pendidikan dan agama. Artinya, pertimbangan itu bisa dipakai atau tidak. Jadi, tergantung DPR. Soal memberikan pertimbangan bukan fungsi legislasi.

DPD juga diberikan kewenangan untuk mengawasi pelaksanaan UU yang berkaitan dengan daerah. Ini menyimpan pertanyaan lanjutan, misalnya mau dikemanakan hasil pengawasan itu. Kemudian, apakah tidak tumpang tindih dengan fungsi kontrol dari DPR. Ataukah, hasil pengawasan itu diberikan kepada DPR.

Hegemoni DPR terhadap DPD, sangat berpotensi melahirkan superioritas DPR dalam pengelolaan negara. DPD tidak lebih dari sekadar wakil yang duduk dalam bidang legislatif, tapi tanpa kewenangan legislasi. Ketiadaan fungsi legislasi bagi DPD ini, bisa dimaklumi, karena sistem bikameral Indonesia lahir sebagai karbitan(tergesa-gesa) yang kering, tanpa roh. Hal ini ditunjukkan oleh beberapa hal, diantaranya adalah:

Konsep Persetujuan Bersama dan Pocket Veto Yang Tidak Kompatibel

Dikatakan dalam Pasal 20 ayat (2) UUD bahwa setiap RUU harus mendapat "persetujuan bersama" dari DPR dan Pemerintah. Konsep adanya persetujuan bersama ini diterjemahkan menjadi pembahasan yang sifatnya sangat teknis secara bersama-sama oleh DPR dan wakil dari pemerintah. Mekanismenya, untuk RUU yang diajukan oleh Pemerintah, presiden akan mengirimkannya kepada DPR melalui suatu Surat Presiden (Surpres, sebelum UU 10/2004 tentang Peraturan Perundang-Undangan dikenal dengan nama "Ampres" atau "Amanat Presiden"). Kemudian DPR akan menentukan komisi mana yang akan membahasnya atau akan dibuat suatu Panitia Khusus (Pansus) yang terdiri dari berbagai komisi. Sementara untuk RUU yang dibuat oleh DPR, DPR akan mengirim surat kepada presiden untuk meminta presiden mengutus salah satu wakilnya dalam pembahasan di DPR.

Dalam proses pembahasan, yang dilakukan adalah pembahasan pasal per pasal, kalimat per kalimat, yang kadang-kadang berkepanjangan dan terlampau rinci. Idealnya, proses yang terjadi DPR adalah sebuah proses politik. Sementara hal yang sifatnya teknis diselesaikan tersendiri oleh sekelompok orang yang mempunyai tugas yang bersifat teknis.

Persetujuan bersama ini jadi terlihat janggal dalam suatu sistem ketatanegaraan dengan sistem pembagian kekuasaan yang berkeinginan untuk menciptakan keseimbangan (checks and balances). Sebagaimana dikemukakan oleh Sartori: "...the problems of presidentialism are not in the executive arena but in the legislative arena." (Giovanni Sartori: 1997 p.83). Dalam sistem presidensial, forum yang lebih penting dalam hal keseimbangan peran eksekutif dan legislatif terletak pada wilayah legislatif daripada wilayah eksekutif. Di sini seharusnya muncul proses "adu kekuatan" antara legislatif dan eksekutif, yang sebenarnya merupakan mekanisme politik dalam menyeimbangkan kekuasaan mereka dalam sebuah sistem presidensial.

Dengan begitu, adanya konsep "persetujuan bersama" sesungguhnya bersifat distortif dalam sebuah sistem presidensial karena meniadakan karakteristik penting dalam sistem presidensial, yaitu adanya eksekutif dan legislatif yang saling menyeimbangkan dalam proses penentuan kebijakan di luar mekanisme dalam parlemen sebagaimana terjadi dalam sistem parlementer.[4]

Sistem pembentukan undang-undang di Indonesia menjadi lebih ganjil lagi ketika kemudian model persetujuan bersama ini dikawinkan dengan dibolehkannya penolakan presiden untuk menandatangani undang-undang yang sudah disahkan secara bersama-sama oleh presiden dan DPR dalam proses yang terjadi di DPR.

Setidaknya ada lima undang-undang yang diundangkan tanpa tanda tangan Presiden, yaitu:

I. Undang-Undang No. 18 tahun 2003 tentang Profesi Advokat,

II. Undang-Undang No. 25 tahun 2002 tentang Kepulauan Riau,

III. Undang-Undang No. 32 tahun 2002 tentang Penyiaran,

IV. Undang-Undang No. 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara, dan

V. Undang-Undang tentang No. 21 Tahun 2003 tentang Pengesahan ILO Convention No. 81 Concerning Labour Inspection In Industry and Commerce (Konvensi ILO NO. 81 Mengenai Pengawasan Ketenagakerjaan dalam Industri dan Perdagangan)

Hal ini tidak banyak mendapat sorotan dari publik karena memang tidak ada akibat langsungnya pada publik. Namun terlihat adanya problem konstitusional yang cukup pelik di sini, yang juga merupakan bagian dari puzzle yang menunjukkan akibat buruk dari konstitusi tambal sulam kita.

Tidak ditandatanganinya suatu undang-undang oleh presiden didasari oleh Pasal 20 ayat (5) UUD. Ketentuan ini berbunyi, dalam hal RUU yang telah disetujui bersama oleh presiden dan DPR tidak disahkan oleh Presiden dalam waktu 30 hari sejak RUU tersebut disetujui, RUU tersebut sah menjadi undang-undang dan wajib diundangkan.

Mekanisme adanya undang-undang yang berlaku tanpa adanya tanda tangan kepala negara dikenal dan diberlakukan di beberapa negara. Ini merupakan salah satu bentuk konkrit dari mekanisme checks and balances antara eksekutif dan legislatif. Karena tujuan itu. ada beberapa prosedur yang mendahuluinya. Biasanya presiden juga diberikan hak veto atas suatu undang-undang yang dibuat oleh parlemen. Selanjutnya, parlemen masih bisa menggagalkan hak veto presiden tersebut melalui persetujuan dari parlemen dalam jumlah tertentu yang lebih dari jumlah yang dibutuhkan untuk mengesahkan suatu undang-undang. Hasil tentangan parlemen inilah yang biasanya masih bisa di-veto "secara diam-diam" oleh presiden melalui tidak ditandatanganinya undang-undang tersebut. Meski demikian, karena undang-undang itu dianggap sudah disetujui secara mayoritas oleh parlemen yang merepresentasikan rakyat, undang-undang tersebut tetap sah. Mekanisme ini didisain untuk menciptakan ruang untuk adanya kompetisi politik, tanpa menciptakan suatu kondisi buntu (deadlock) sehingga sistem justru tidak berjalan. Tidak bersedianya presiden menandatangani sebenarnya merupakan sebuah pernyataan politik. Karena itu, biasanya ada penjelasan-penjelasan dari presiden ataupun parlemen dalam peristiwa penolakan-penolakan ini.

Bagaimana dengan kasus di Indonesia? Tidak pernah ada pernyataan resmi dari presiden mengenai tidak ditandatanganinya keempat undang-undang di atas. Satu lagi yang terlihat janggal adalah kenyataan bahwa seharusnya presiden dianggap sudah mengetahui dan mengemukakan hal-hal yang dirasakan perlu melalui adanya mekanisme "persetujuan bersama" yang diatur dalam Pasal 20 ayat (2) UUD. Tidak ditandatanganinya suatu undang-undang menjadi suatu hal yang aneh karena bukankah berdasarkan di saat yang sama undang-undang merupakan hasil "persetujuan bersama" antara pemerintah dan DPR?

DPD: "Parlemen" Tanpa Kekuasaan

Amandemen Ketiga UUD melahirkan lembaga baru dalam struktur ketatanegaraan Indonesia, yaitu Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Sewaktu DPD pertama kali digaungkan oleh kalangan akademisi dan Ornop, DPD diharapkan dapat mewakili wilayah-wilayah di Indonesia dan bertugas sebagai mitra tanding yang sejajar dengan DPR. Dasar pemikirannya, Indonesia yang sangat luas, beragam, dan berpenduduk banyak membutuhkan sistem ini agar keterwakilan politik berjalan dengan lebih baik.

Namun konsep ini kembali diadopsi setengahnya dan dicampur dengan kepentingan politik saat amandemen tahun 2001 dilakukan. Usulan mengenai DPD diterima, namun posisi yang sejajar dengan DPR tidak diberikan. Kewenangan dan kedudukannya sangat jauh dari yang diharapkan.

Harapannya, DPD akan dapat mewakili aspirasi masyarakat di daerah dalam penentuan kebijakan tingkat nasional. Kenyataannya, konstitusi hanya memberikan sedikit kewenangan bagi DPD sehingga sedikit sekali ruang gerak yang tersedia bagi DPD dalam menyuarakan kepentingan daerahnya.

DPD mempunyai wewenang yang sangat terbatas dan hanya terkait dengan soal-soal kedaerahan. Dalam Konstitusi ditentukan bahwa DPD hanya "dapat" mengajukan RUU, "ikut membahas" RUU dan "dapat" melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang, dengan catatan bahwa kewenangan tersebut hanya terbatas pada undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah (Pasal 22D UUD). Dalam UU Susduk, kedudukan DPD yang sudah dilemahkan sejak lahir ini diperlemah dengan tidak diaturnya pelaksanaan wewenang DPD secara rinci. Ketentuan dalam UU Susduk seakan hanya menyalin ketentuan mengenai DPD dalam Konstitusi. UU Susduk mengatur bahwa keikutsertaan DPD dalam pembahasan RUU dilakukan sebelum pembahasan oleh DPR. Hal ini disebabkan adanya ketentuan lain dalam konstitusi (Pasal 20) yang menegaskan bahwa wewenang pembentukan undang-undang ada di tangan DPR, bukan DPR dan DPD.

Sekali lagi, kata kunci yang akan digunakan adalah "kompetisi". Dalam penelitian yang dilakukan oleh Arend Lijphart terhadap 36 negara, disimpulkan adanya dua karakter untuk melihat keberadaan sistem bikameral yang diterapkan kuat (strong bicameralism) atau lemah (weak bicameralism)[5]. Karakter pertama, kewenangan konstitusional yang dimiliki oleh kedua kamar. Kecenderungannya, kamar kedua kedua (Senate di Amerika Serikat, Bundesrat di Jerman, atau DPD di Indonesia) biasanya mempunyai kewenangan yang lebih kecil daripada kamar pertama (House of Representatives di Amerika Serikat, Bundestag di Jerman, atau DPR di Indonesia). Kedua, signifikansi politik kamar kedua tergantung tidak hanya dari kekuatan formal mereka, melainkan juga dari cara pemilihan anggotanya. Kedua karakter ini saling berkaitan. Kamar kedua yang anggotanya tidak dipilih secara langsung mempunyai legitimasi yang minimal dan karenanya biasanya mempunyai peran politik yang kurang penting. Oleh sebab itu, ada tendensi kamar kedua yang anggotanya punya legitimasi kuat karena dipilih secara langsung lantas diberikan wewenang yang lebih kecil daripada kamar pertama. Dari kedua karakter ini, Lijphart kemudian mengklasifikasikan parlemen bikameral menjadi dua kelompok, yaitu simetris dan asimetris[6]. Dikatakan simetris bila kekuatan di antara kamar pertama dan kedua relatif setara dan asimetris bila kekuatan di antara keduanya sangat tidak berimbang.

Dalam bahasa yang digunakan banyak politisi dan pengamat politik di Indonesia, sistem yang dianut oleh Indonesia pasca-amandemen ketiga konstitusi dikatakan sebagai bikameral yang lemah. Bisa jadi, model kategorisasi di atas yang digunakan. Dikatakan bahwa Indonesia menganut weak bicameralism karena DPD memiliki kekuasaan yang terbatas dan legitimasi yang kuat karena dipilih langsung. Namun satu hal yang agaknya terpinggirkan ketika kategorisasi ini digunakan adalah makna dari ‘kekuasaan’ dalam sebuah proses politik.

Pertanyaan kuncinya adalah: apakah DPD mempunyai ‘kekuasaan’ dalam proses politik? Pertanyaan ini dapat dijawab dari tiga fungsi dasar parlemen, yaitu fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan. DPD sesungguhnya tidak mempunyai wewenang sampai pada tingkat pengambil keputusan dalam proses politik. Seluruh ‘wewenang’ DPD hanya sampai pada tingkat memberikan pertimbangan. DPD memang dapat mengajukan rancangan undang-undang (RUU), namun pengambilan keputusan mengenai legislasi hanya dilakukan oleh DPR dan presiden. Sebab Pasal 20 ayat (1) dan (2) UUD menyatakan dengan tegas bahwa kekuasaan legislasi ada pada DPR; dan setiap rancangan undang-undang dibahas oleh DPR dan presiden untuk mendapatkan persetujuan bersama. Sebagai bahan perbandingan, lihat juga Bivitri Susanti dalam artikelnya berjudul Bukan Sekadar Lembaga Pemberi Pertimbangan: Peran DPD dalam Proses Legislasi dimuat dalam Jurnal Legislasi Indonesia. Tata Tertib DPR kemudian memang mengatur adanya pembahasan terhadap rancangan undang-undang usulan DPD, tetapi komisi terkait di DPR dan Badan Legislasi DPR tidak diwajibkan untuk menerimanya. Peraturan tata tertib DPR tidak secara eksplisit menyatakan bahwa RUU yang diusulkan harus dibahas dan disetujui. Begitu pula dalam konteks fungsi pengawasan, DPD hanya memberikan pertimbangan, yang selanjutnya akan ditindaklanjuti oleh DPR melalui tiga hak kelembagaan DPR, yaitu hak interpelasi, angket, dan menyatakan pendapat (Pasal 27 UU 22/2003). Hal yang sama juga dapat dilihat hal fungsi anggaran. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa bahkan terlalu terburu-buru untuk menyatakan bahwa Indonesia sudah menganut bikameral.

Kritik yang sering ditujukan kepada perubahan ketiga UUD adalah lemahnya wewenang DPD. Karena itu pula konsep bikameral tersebut sering dibahasakan sebagai “weak bicameral” atau “soft bicameral”. Istilah ini muncul karena DPD mempunyai wewenang yang sangat terbatas dan hanya terkait dengan soal-soal kedaerahan.

Dalam konstitusi ditentukan bahwa DPD hanya “dapat” mengajukan RUU, “ikut membahas” RUU dan “dapat” melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang, dengan catatan bahwa kewenangan tersebut hanya terbatas pada undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah (Pasal 22D UUD). Wewenang ini kemudian dirinci dalam UU Susduk sebagai berikut.[7]

  • DPD dapat mengajukan kepada DPR rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan Pusat dan Daerah, pembentukan dan pemekaran, dan penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam, dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan perimbangan keuangan pusat dan daerah (Pasal 42).
  • DPD ikut membahas bersama DPR atas rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan Pusat dan Daerah, pembentukan dan pemekaran, dan penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam, dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan perimbangan keuangan pusat dan daerah, yang diajukan oleh pemerintah atau hak inisiatif DPR (Pasal 43).
  • DPD memberikan pertimbangan kepada DPR atas rancangan undang-undang anggaran pendapatan dan belanja negara, dan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama (Pasal 44).
  • DPD memberikan pertimbangan kepada DPR dalam pemilihan anggota Badan Pemeriksa Keuangan (Pasal 45).
  • DPD dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang mengenai otonomi daerah, pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja negara, pajak. pendidikan, dan agama (Pasal 46).

Namun kesemua wewenang tersebut dilakukan sebelum pembahasan oleh DPR. Artinya, keputusan mengenai undang-undang sepenuhnya ada di tangan DPR dan pemerintah.

Dengan begitu, pertanyaannya adalah: betulkah Indonesia saat ini menerapkan bikameral lemah atau ‘weak bicameralism’ atau ‘soft bicameralism’. Pandangan saya terhadap hal ini adalah bahwa konsep bikameral sendiri sebenarnya tidak diterapkan. Pernyataan yang terdengar melawan arus ini didasarkan pada premis bahwa konsep bikameral lahir justru untuk mendorong adanya checks and balances di dalam lembaga perwakilan. Kata kunci dalam konteks parlemen bikameral (dan dalam politik secara umum) adalah ‘kompetisi’. Perlu ada ‘kompetisi’ antara dewan tinggi dan dewan rendah untuk memunculkan kondisi saling mengontrol yang menimbulkan keseimbangan politik (checks and balances) di dalam parlemen itu sendiri. Dan memang, kebutuhan akan adanya dua dewan dalam satu lembaga perwakilan adalah untuk mewakili konstituensi yang berbeda sehingga terjadi proses deliberasi yang lebih baik. Karena itu pula, biasanya wewenangnya dibuat sedemikian rupa sehingga ada kelebihan dan kekurangan yang didisain berbeda di antara keduanya. Dengan begitu, dapat terjadi proses yang membatasi kewenangan yang berlebihan dari suatu lembaga politik.

Dan jika kita melihat dari bentuk MPR yang ada di indonesia yang diatur dalam peraturan perundang-undangan[8] seperti yang diatur dalam pasal 2 ayat 1 UUD 1945 dan pasal 2 Undang-undang no 22 tahun 2003 tentang susunan kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD yang menyatakan bahwa MPR terdiri atas anggota DPR dan DPD. Yang saya garis bawahi disini adalah kata anggota. Jika yang dimaksud adalah anggota, maka dalam MPR tidak ada kamar-kamar, karena yang menjadi anggota MPR bukanlah suatu institusi tetapi anggota institusi. Hal ini sangat berbeda dengan amerika yang menyatakan dalam konstitusinya bahwa congress terdiri dari senat dan house of representatif.

C. Sistem di amerika

Dewan Perwakilan Amerika Serikat, bersama dengan Senat Amerika Serikat, adalah salah satu dari dua Dewan dari Kongres Amerika Serikat. Masing-masing negara bagian diwakili dalam Dewan Perwakilan secara proporsional sesuai dengan jumlah penduduknya, namun masing-masing negara bagian sekurang-kurangnya mempunyai seorang Anggota Perwakilan. Jumlah seluruh Anggota Perwakilan saat ini ditetapkan 435 orang oleh Undang-Undang Pembagian (Apportionment Act) tahun 1911, meskipun Kongres dapat meningkatkan jumlah itu. Masing-masing Anggota Dewan menjabat selama dua tahun dan dapat dipilih kembali untuk waktu yang tidak terbatas. Ketua Dewan disebut Speaker.

Konsep kongres dua kamar berasal dari keinginan para Bapak Pendiri Amerika Serikat untuk menciptakan sebuah "dewan perwakilan rakyat" yang sedapat mungkin menyerupai dan mengikuti pendapat umum, dibandingkan dengan Senat yang lebih diwarnai oleh perdebatan, yang lebih terdidik dan berhati-hati yang tidak begitu dipengaruhi oleh dorongan sentimen massa. Umumnya Dewan ini disebut "majelis rendah", dan Senat sebagai "majelis tinggi", meskipun Konstitusi AS tidak menggunakan istilah seperti itu. Konstitusi mensyaratkan bahwa persetujuan kedua dewan ini diperlukan agar suatu rancangan undang-undang dapat disetujui.

Untuk itu, sangat menarik untuk menyimak catatan David Cushman Coyle (1955), terutama mengenai latar belakang adanya senat dan House of Representative (DPR) dalam konggres. Dari catatan itu, jelas sistem bikameral Amerika lahir dari pengalaman dan situasi, bukan dari teori politik, apalagi menjiplak seperti yang dilakukan anggota MPR.

Tahun 1774, Amerika menggelar Konggres Kontinental yang pertama. Konggres ini merupakan respons terhadap konflik yang kian menajam dengan Inggris, yang saat itu menduduki Amerika. Konggres Kontinental ini merupakan langkah bagi Amerika, sehingga pada tahun 1776, Konggres Kontinenal mengesahkan deklarasi kemerdekaan.

Kemudian, pada 1777, Konggres menerima usul untuk suatu negara uni federal bagi Amerika, yang selanjutnya dikirim ke seluruh negara bagian untuk diratifikasi. Sekitar empat tahun kemudian (1781), hampir semua negara bagian sudah meratifikasi perjanjian itu, sehingga menjadi Articles of Confederation, konstitusi AS yang pertama.

Sesuai, Articles of Confederation, negara berstatus bebas dan merdeka sesuai hak. Jadi, Amerika hanya menerima kewenangan yang diserahkan negara bagian. Boleh dikatakan, posisi pemerintah pusat sangat lemah, karena kewenangan terbesar ada pada negara bagian.

Dalam masa berlakunya Articles of Confederation terjadi krisis ekonomi, sehingga berbagai kalangan (terutama pedagang) memandang perlu adanya pemerintahan federal yang kuat, guna mengatasi kesulitan ekonomi. Untuk itu, para pedagang dan pengusaha menggelar konperensi antar-negara bagian, yang kemudian melahirkan konvensi di Philadelphia tahun 1787. Konvensi ini menyusun konstitusi, yang memungkinkan adanya pemerintahan yang bertanggung jawab kepada rakyat serta pemberian kewenangan yang lebih luas kepada uni federal.

Sidang di Philadelphia itu tidak berjalan mulus, tapi justru terjadi perbedaan pendapat yang tajam antara wakil dari negara bagian yang besar dan wakil negara bagian kecil. Kedua kubu sama-sama mengajukan usul yang saling bertolak-belakang, karena menyangkut kepentingan masing-masing.

Dari kubu negara bagian besar mengusulkan konsep ”Rencana Virginia”. Sementara dari kubu negara bagian kecil mengusung ”Rencana New Jersey”. Peserta konvensi dituntut untuk memilih satu dari dua rencana. Yang jelas, ”Rencana Virginia” bakal menguntungkan negara bagian yang besar, sekaligus merugikan negara bagian kecil. Sebaliknya, ”Rencana New Jersey” akan merugikan negara bagian besar dan menguntungkan negara bagian kecil.

”Rencana Virginia” menginginkan agar konggres terdiri dari dua dewan. Satu dewan dipilih langsung oleh rakyat. Kemudian, dewan hasil pilihan rakyat itu memilih anggota dewan tinggi dari calon yang diajukan legislatif negara bagian. Namun, komposisi wakil di kedua dewan itu ditentukan berdasarkan jumlah penduduk dan pajak atau kombinasi dari keduanya.

Rencana ini, dengan sendirinya merugikan negara bagian kecil, karena jumlah penduduk dan pajak yang lebih kecil dibandingkan dengan negara bagian yang besar.

Dalam Articles of Confederation, tidak ada sistem seperti itu. Sesuai Articles of Con-federation, setiap negara bagian mempunyai wakil yang sama dengan negara bagian yang besar. Artinya, wakil dari negara bagian besar dan kecil mendapat jatah wakil yang sama dalam Konggres Amerika.

Sebenarnya, usulan kedua mempunyai persamaan, dimana keduanya menginginkan pemisahan antara kekuasaan legislatif, yudikatif dan eksekutif. Namun, perbedaan yang tajam terletak pada soal hubungan legislatif antara negara bagian besar dan kecil.

Menghadapi dua usulan yang saling bertolak belakang itu, peserta berusaha mencari jalan keluar untuk mewujudkan uni federal yang lebih bagus. Adalah William Samuel Jhonson dari Connecticut yang bisa memecahkan persoalan itu.

Solusinya, satu dewan (DPR) diisi berdasarkan jumlah penduduk. Tugasnya, antara lain, berhak merencanakan undang-undang untuk memungut uang(pajak). Satu dewan lagi (senat) diisi berdasarkan negara bagian dengan jumlah yang sama bagi setiap negara bagian. Solusi ini, kemudian terkenal dengan ”Kompromi Connecticut”.

Sesungguhnya, ”Kompromi Connecticut” inilah yang menjadi substansi dari sistem bikameral AS yang dikenal saat ini, meski ada beberapa yang telah dibenahi, seperti anggota senat yang dipilih DPR, belakangan dipilih rakyat secara langsung.

Apa yang dicatat Coyle ini jelas, kalau sistem bicameral Amerika lahir dari situasi konflik kepentingan antara negara bagian besar dan negara bagian kecil. Artinya, sistem bikameral AS lahir karena kebutuhan sejarah. Situasi yang memaksa para negarawan AS untuk mencari solusi, yang dikenal sebagai sistem bikameral itu.

Dalam sistem di Amerika Serikat, presiden mempunyai hak untuk melakukan veto semacam ini dikenal dengan nama "pocket veto". Setelah kedua kamar di Congress (House of Representatives dan Senate) menyetujui suatu UU, presiden dapat melakukan veto, yang kemudian dapat ditolak oleh Congress, yang disebut dengan "override" dengan suara dua pertiga dari masing-masing kamar. Hasil overrding ini kemudian dapat ditolak secara politis oleh presiden melalui pocket veto. Pocket veto digunakan sebagai alat politik yang ampuh untuk menunjukkan kekuatan politik presiden, terutama apabila partai mayoritas di Congress berbeda dengan partai asal presiden yang berkuasa. Tercatat bahwa presiden yang paling banyak melakukan veto dalam sejarah Amerika Serikat adalah Franklin D. Roosevelt yang memveto 138 undang-undang. Dikatakan bahwa ia sengaja menginstruksikan stafnya untuk mencari RUU untuk diveto untuk menunjukkan kekuatannya dalam proses legislasi.

2. Perbedaan antara mejelis permusyawaratan rakyat (MPR) di Indonesia dengan Congress di amerika serikat

Amerika Serikat merupakan negara yang berbentuk federal (walaupun pada awalnya berbentuk konfederasi). Dan mempunyai lembaga pemegang kekuasaan legislatif yang bernama kongres. Kongres terdiri atas 2 kamar yaitu: Senat dan Dewan Perwakilan Rakyat. Amerika mempunyai sistem pengawasan yang baik antar lembaga negara yang dikenal dengan Checks And Balances. Amerika mengawal pendirian negaranya yang dipenuhi berbagai gejolak semenjak negara itu terbentuk[9]. Tetapi semenjak selesai Perang Saudara, Kondisi negara Amerika Serikat mulai stabil, kemudian Amerika Serikat terkenal dengan salah satu penyebar demokrasi dari negara barat, sangat anti komunis. Dalam beberapa kurun waktu pemerintahannya banyak melakukan propaganda anti komunis dan melakukan penyebarannya ke negara lain.[10]

Kongres dan lembaga-lembaga negara yang lain di Amerika Serikat dalam mengambil keputusan menekankan pada kekuatan suara mayoritas seperti yang dikatakan oleh Alexis de Tocqueville bahwa:[11]

the very essence of democratic government consist in the absolute sovereignty of the majority; for there is nothing in the democratic states which is capable of resisting it. Most of the American constitutions have sought to increase this natural strength of the majority by artificial means.

Terjemahan bebas: Hal yang sangat penting dalam pemerintahan yang demokratis terkandung dalam kedaulatan absolut dari mayoritas;tidak ada dalam negara demokratis yang bisa menolak itu. Telah mencari cara untuk meningkatkan kekuatan alam dari mayoritas dengan cara yang konstitusional.

Kongres di Amerika mempunyai 2 lembaga yang jika mereka bertemu dalam suatu tugas dan wewenang tertentu disebut Kongres, Kongres terdiri atas 2 lembaga yaitu:

  1. House Of Representative.
  2. Senate.[12]

Hal ini tidak sama dengan di Indonesia setelah Perubahan UUD 1945. Karena MPR di Indonesia terdiri atas anggota 2 badan yaitu Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah. MPR bukan merupakan 2 badan yang bertemu seperti Kongres Amerika Serikat. Dan ini merupakan perbedaan yang mendasar antara lembaga MPR dengan Kongres Amerika Serikat. Sehingga tidak bisa diperbandingkan antara komposisi dan struktur lembaga Kongres dan MPR.

Karena struktur dan sistem parlemen yang berbeda, maka yang dibandingkan adalah tugas dan wewenang yang dipunyai Kongres. Karena tidak ada negara lain sepanjang sepengetahuan penulis yang menerapkan sistem parlemen trikameral kecuali Negara Cina Taiwan sebelum berubah[13]. Dan yang akan diperbandingkan disini adalah sistem parlemen yang dalam konstitusi masih berlaku. Sehingga yang sering dijadikan contoh adalah Amerika Serikat maka MPR diperbandingkan dengan Kongres di Amerika Serikat. Karena mekanisme lembaga parlemen yang baik, walaupun Amerika menganut sistem bikameral yang jelas berbeda dengan Indonesia.

Di Amerika Serikat jelas dinyatakan bahwa fungsi negara terdiri atas 3 yaitu :

  1. Fungsi Legislatif.
  2. Fungsi Eksekutif.
  3. Fungsi Yudikatif.

Sedangkan di Indonesia tidak menganut pemisahan kekuasaan tersebut secara mutlak[14].

Semua fungsi yang ada di Amerika Serikat dalam pelaksanaannya dibuatlah mekanisme Checks And Balances yang bertujuan untuk menghindari kekuasaan terpusat pada satu lembaga.[15]

Di Indonesia setelah di Perubahan UUD 1945 maka kekuasaan legislatif ada pada Dewan Perwakilan Rakyat. Kekuasaan eksekutif ada di tangan Presiden. Dan kekuasaan yudikatif ada ditangan Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. Dalam menjalankan tugasnya maka Kongres dan MPR mempunyai persamaan dan perbedaan. Yang memegang kekuasaan legislatif ada ditangan kongres, sedangkan di Indonesia ada ditangan DPR.

Setelah Perubahan UUD 1945 maka MPR RI diatur sebagai lembaga negara yang sama dengan negara lain. Sehingga kedudukannya sama dengan lembaga-lembaga negara yang lain. Pada masa sesudah Perubahan UUD 1945 tugas utama MPR adalah:

“ Melantik Presiden dan Wakil Presiden”[16]

Ada tugas yang dilaksanakan secara temporer dan akan berakhir pada tahun 2003. Tugas ini ada dalam Aturan Tambahan UUD 1945 pasal I, yaitu:“ Majelis Permusyawaratan Rakyat ditugasi untuk melakukan peninjauan terhadap materi dan status hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat untuk diambil putusan pada Sidang Majelis Permusywaratan Rakyat tahun 2003.[17]

Sedangkan wewenang MPR adalah sebagai berikut:

1. Majelis permusyawaratan Rakyat berwenang mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar.

2. Majelis Permusyawaratan hanya dapat memberhentikan Presiden dan atau/Wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut Undang-Undang Dasar.

3. Menetapkan Presiden dan Wakil Presiden pengganti sampai terpilihnya Presiden dan/atau Wakil Presiden pengganti sampai terpilihnya dan/atau Wakil Presiden sebagaimana mestinya.

Kongres di Amerika Serikat mempunyai kekuasaan legislatif dan hal ini jelas tercantum dalam konstitusinya bahwa[18]:

Section 1. All legislative Powers herein granted shall be vested in a Congress of the United States, which shall consist of a Senate and House of Representatives.

Terjemahan bebas: Seluruh kekuasaan ada di Kongres Amerika Serikat dan terdiri atas Senate dan House Of Representatif.

Sedangkan Kewenangan yang lain adalah yang diberikan oleh Undang-Undang Dasarnya adalah[19] :

1) Passes federal laws. (Menyetujui Undang-Undang federal)

2) Passes federal budget, levies taxes and funds executive functions (Menyetujui anggaran federal, pajak dan fungsi keuangan eksekutif)

3) Establishes lower federal courts, judicial positions (untuk membuat peradilan rendah federal, menentukan posisinya)

4) Approves treaties and federal appointments (menyetujui perjanjian internasional dan pengangkatan pejabat federal)

5) Declares war (menyatakan perang).

Kewenangan-kewenangan diatas merupakan kewenangan garis besar yang dinyatakan dalam Konstitusi Amerika Serikat. Dan kewenangan-kewenangan lain secara jelas dinyatakan dalam Konstitusinya pada pasal 8.

Dari kewenangan-kewenangan diatas maka dapat disimpulkan persamaan kewenangan Kongres di Amerika Serikat dengan Majelis Permusyawaratan Rakyat adalah:

1. Mengubah Undang-Undang Dasar

2. Memberhentikan Presiden dan Wakil Presiden.

Sedangkan tugas tidak dinyatakan secara jelas dalam Konstitusinya sehingga tugas dari Kongres Amerika Serikat adalah:

Section 2. The Congress shall assemble at least once in every year, and such meeting shall begin at noon on the third day of January, unless they shall by law appoint a different day.

Terjemahan bebas: Kongres bertugas mengadakan sidang sekurang-kuangnya setiap tahun, dan mengadakan pertemuannya dimulai siang hari pada hari ketiga januari, kecuali ditentukan lain oleh undang-undang.

Jika dibandingkan dengan tugas yang dilakukan oleh MPR maka dalam hal ini berbeda. Tugas MPR adalah melantik presiden dan wakil presiden, sedangkan dalam kongres adanya tugas atau keharusan untuk mengadakan sidang setiap tahunnya.

Kesamaannya adalah tugas yang dilakukan adalah tugas yang dilakukan setiap kali dan dilakukan untuk memenuhi ketentuan dalam Undang-Undang Dasar.

ANALYSIS Kondisi sosial dan kecenderungan masyarakat

Amerika Serikat terdiri atas berbagai penduduk imigran yang sebagian berasal dari Inggris, Perancis dan berbagai masyarakat Eropa pada saat itu. Sehingga secara kultur Amerika Serikat mempunyai kebudayaan yang sangat beragam. Hal ini mempengaruhi demokrasi yang ada di Amerika Serikat dan juga mempengaruhi berbagai system kehidupan di Amerika Serikat. Dan menurut de Tocqueville ada persamaan yang ada dalam berbagai imigran yaitu persamaan bahasa. Hal inilah menurut de Tocqueville yang menyatukan berbagai suku bangsa di Amerika Serikat.

Amerika Serikat (disingkat A.S.) atau (bahasa Inggris: United States of America - USA atau United States - U.S.) adalah sebuah republik federal yang terdiri dari 50 negara bagian. Kecuali Alaska (utara Kanada) & Hawaii (lautan Pasifik), 48 negara bagian lainnya terletak di Amerika Utara.

Amerika Serikat berbatasan dengan Meksiko dan Teluk Meksiko di sebelah selatan, dan dengan Kanada di sebelah utara dan barat laut (eksklave Alaska). Di sebelah barat negara ini berbatasan dengan Samudra Pasifik dan di sebelah timur dengan Samudra Atlantik. Selain itu masih ada banyak daerah dan koloni di banyak belahan dunia, seperti Hawaii, yang merupakan sebuah negara bagian, dan daerah-daerah lainnya seperti Puerto Riko, Guam dan lain sebagainya yang termasuk dalam persemakmuran.

Amerika terbentuk dari 13 bekas koloni Britania Raya yang memerdekakan diri pada tanggal 4 Juli 1776. Setelah itu Amerika berekspansi secara besar-besaran, membeli daerah Louisiana dari Perancis serta Alaska dari Rusia serta menganeksasi daerah-daerah milik Meksiko yaitu New Mexico, Texas, dan California) seusai Perang Meksiko-Amerika.

Amerika adalah negara dengan wilayah terbesar keempat di dunia, setelah Rusia, Kanada, dan Tiongkok & ketiga terbesar dalam jumlah penduduk, setelah Tiongkok dan India. Tetapi jika dilihat dari segi ekonomi, Amerika adalah nomor satu di dunia, meliputi kira-kira seperempat hingga sepertiga total keluaran ekonomi dunia. Model pemerintahannya yang demokrasi presidensiil, diikuti oleh negara-negara Amerika Latin lainnya.

Penduduk amerika adalah Masyarakat Anglo Amerika Serikat yang merupakan bangsa yang pertama yang tidak mengalami suatu era kekuasaan absolute menurut Alexis de Tocqueville. Lebih lanjut Alexis de Tocqueville menjelaskan juga bahwa dari seluruh karakter yang ada pada bangsa Amerika Serikat maka karakter demokratislah yang menonjol pada bangsa Amerika Serikat.

Di Amerika Serikat, kekuasaan mayoritas seringkali dilakukan dalam berbagai hal sehingga menimbulkan pemerintahan dan masyarakat yang absolute sebagai suatu kekuatan absolut(despot), dam merupakan instrumen sesungguhnya dari kekuasaan yang tiran.

Hal ini dapat dilihat dari berbagai keputusan yang berdasar suara terbanyak (mayoritas), legislator yang dipilih oleh mayoritas, sehingga undang-undang dan berbagai produk hukum berdasar atas suara mayoritas, hal ini menyingkirkan kelompok minoritas dalam negara untuk ikut berpartisipasi dalam pengambilan keputusan.

Penyebab dasar yang mempertahankan Republik Demokratis di Amerika Serikat menurut Alexis adalah bahwa keinginan bebas dan mempertahankan asas demokrasi dan beberapa prinsip kehidupan bernegara dari rakyatnya-lah yang memfasilitasi terjaganya republik yang demokratis di Amerika Serikat. Bangsa Amerika Serikat tidak mempunyai tetangga, kehidupannya sangat individualistis sehingga mereka tidak mempunyai perang besar ataupun krisis finansial.

Metode filsafat masyarakat Amerika Menurut Alexis de Tocqueville adalah tidak ada bangsa dalam peradaban dunia yang kurang memperhatikan dengan mendalam masalah filosofi selain di Amerika Serikat, hal ini dapat dilihat dari tidak adanya sekolah filosofi yang dimiliki oleh Negara Amerika Serikat.

Ada beberapa contoh yang menggambarkan karakter metode masyarakat Amerika seperti:

1. menghindari ikatan sistem dan kebiasaan, jargon keluarga, pendapat antar kelas masyarakat.

2. menerima tradisi hanya sebagai informasi dan fakta-fakta sebagai pelajaran untuk melakukan hal yang lebih baik;

3. mencari alasan sendiri untuk sendiri;

4. cenderung ke hasil tanpa harus terikat dengan cara dan untuk menuju inti melalui bentuk.

Dan menurut Alexis de Tocqueville bahwa setiap rakyat Amerika menganut prinsip usaha individu atau pribadi dalam mencari pengertiannya.

Dalam Konstitusi Amerika Serikat fungsi Negara terbagi atas 3 fungsi yaitu:

1. Fungsi Legislatif.

2. Fungsi Eksekutif.

3. Fungsi Yudikatif.[20]

Fungsi-fungsi tersebut dilaksanakan berdasarkan konstitusi Amerika Serikat dan di lakukan dengan suara mayoritas dalam pengesahan undang-undang dalam kongres Amerika Serikat.[21]

Section 1. All legislative Powers herein granted shall be vested in a Congress of the United States, which shall consist of a Senate and House of Representatives.

Comment: Congress controls all power to write legislation, and has two chambers—the House of Representatives and the Senate.[22]

Sehingga kekuasaan di Amerika Serikat sangat dipengaruhi oleh kekuasaan mayoritas walaupun secara konsep filsafat hukum hal ini diprotes oleh Plato dalam Nomoi.[23]

Beberapa hal diatas menunjukkan bagaimana sistem parlemen yang ada di amerika yang sebenarnya adalah dipengaruhi oleh kondisi sosial dan kecenderungan masyarakat itu sendiri, sehingga jika kita bandingkan dengan kondisi yang ada di indonesia hal tersebut tentunya kurang sesuai karena secara filosofis bertolak belakang dengan indonesia. Dalam beberapa artikel karangannya bung karno, menyebutkan bahwa indonesia adalah negara yang berdasarkan pada “kegotong-royonyan” hal ini menunjukkan bahwa indonesia adalah negara yang cenderung sosialis, dan di amerika yang federal memang karena kecenderungan masyarakatnya individualis.

BAB III

PENUTUP

III.1. Kesimpulan

Pada perumusannya, MPR tidaklah terdiri dari dua kamar, namun terdiri atas dua anggota kamar, sehingga tidak dapat dikatakan sebagai bikameral sistem, karena yang dikatakan sebagai bikameral sistem adalah terdiri dari dua badan/lembaga. Lembaga legislatif dalam fungsi dasarnya akan selalu membuat posisi terhadap eksekutif. Sebagai lembaga perwakilan rakyat, lembaga legislatif akan menjalankan fungsi kontrol terhadap eksekutif dan memberikan panduan dasar bagi eksekutif dalam bentuk kebijakan makro (legislasi, anggaran). Dalam sistem pemerintahan parlementer, perhadapan maupun perkongsian antara eksekutif dan legislatif tidak akan terlalu kentara pada relasi mereka, namun akan tercermin pada dinamika internal di parlemen. Sebab pemerintahan justru lahir dari pengelompokkan visi politik di dalam parlemen terpilih. Dan kelompok (atau beberapa kelompok) lainnya akan menjadi lawan-lawan politik yang efektif bagi pemerintahan mayoritas. Dalam sistem pemerintahan presidensial tidak ada fokus kekuasaan. Sebab cabang-cabang kekuasaan negara terbagi secara lebih ketat dengan eksekutif yang biasanya dipilih tersendiri, dan tidak berasal dari parlemen terpilih. Kondisi inilah yang terjadi di Indonesia yang menganut sistem presidensial. Disain politik seperti ini digabungkan dengan disain konstitusional mengenai proses legislasi, melahirkan suatu tidak ada kompetisi politik di arena legislasi. Di satu sisi sikap-sikap politik di DPR yang berkaitan dengan kebijakan pemerintahan yang berdampak luas lebih banyak dipengaruhi oleh perebutan kekuasaan di wilayah eksekutif. Namun di sisi lainnya, untuk soal legislasi, pemerintah yang lebih dominan dan DPR lebih lemah. Pelaksanaan fungsi pengawasan dan fungsi anggaran DPR lebih menonjol ketimbang fungsi legislasinya karena pada dua wilayah inilah DPR dapat menunjukkan dengan kuat dukungan atau penolakannya atas kebijakan yang sudah dilaksanakan atau sedang direncanakan oleh pemerintah. Fungsi legislasi agaknya dianggap tidak strategis untuk menunjukkan sikap ini. Ada dua kemungkinan penyebabnya. Pertama, fungsi legislasi berjalan lambat dan membutuhkan penguasaan substansi dan teknis yang tinggi karena pembahasannya mencakup pengaturan yang sifatnya rinci. Kedua, banyak kompromi yang bisa diakomodasi dalam rincian pasal-pasal sehingga ‘daya kontroversi’nya lebih sedikit dibandingkan dengan unjuk sikap pada fungsi pengawasan dan anggaran. Karena itulah, wujud hubungan DPR dan pemerintah lebih banyak mencuat pada soal anggaran dan pengawasan. Untuk soal legislasi, DPR lebih banyak mengikuti masukan pemerintah namun di sisi lainnya, kapasitas DPR sendiri sangat terbatas sehingga kalaupun ada inisiatif yang dipergunakan, kebanyakan sifatnya seperti bola liar, tergantung pada konfigurasi politik DPR yang sangat berwarna. Akibatnya, politik legislasi Indonesia tidak mendapat arah yang jelas.

Perbedaaan antara MPR dan congress yang sangat jelas adalah pada fungsi legislasinya, dimana bila di MPR tidak mempunyai fungsi legislasi, namun congress mempunyai fungsi legislasi, bahkan dalam undang-undang dasarnya disebutkan bahwa seluruh kekuasaan legislasi ada pada congress. Dan dalam mekanisme pembahasannya pun, terdapat pola-pola hubungan yang baik antara senat dan house of representatif. Namun juga pola-pola sistem bikameral ini sangat dipengaruhi oleh kebudayaan masyarakat amerika, baik secara historis, antropologis maupun sosiologis.

III.2. Saran

Dalam memahami mengenai system yang ada di Indonesia perlu dilakukan pengkajian yang lebih lanjut, karena ketika salah memahami akan system tersebut, maka yang terjadi adalah velesis. System bicameral di amerika terjadi karena tuntutan sejarah, sedangkan di Indonesia adalah meniru-niru system yang ada di amerika, padahal Indonesia mempunyai sejarah yang berbeda. Untuk itu para pembuat undang-undang seyogyanya harus mempertimbangkan banyak hal sebelum menetapkan suatu undang-undang. Selain itu perlu adanya pola-pola yag lebih jelas dalam pengaturan fungsi-fungsi lembaga legislative yang efektif dan fungsionil.

Kondisi social antara amerika dan Indonesia berbeda, dan hokum selalu linear. Sehingga hokum berikut system hokum di Indonesia dan amerika pun berbeda. Untuk itu kurang sesuai jika yang dilakukan oleh pembuat kebijakan adalah adopsi, seharusnya yang dilakukan apabila memang mempunyai banyak kesamaan adalah inspirasi. Jadi hokum di Indonesia bisa saja terinspirasi oleh suatu system hokum tertentu.

DAFTAR REVERENSI

Alexis de Tocqueville, Democracy In America, Washington Square Press, New York, 1965

Arend Lijphart, democracy in America, 1999

Burns, Peltason, Cronin, Government By The People, Prentice Hall, New Jersey, 1989

Douglas V. Verney, artikelnya berjudul Parliamentary Government And Presidential Government

Giovanni Sartori, Comparative Constitutional Engineering An Inquiry into Structures, Incentives, and Outcomes

Guilermo O’Donnel, Philippe C Schmitter, Laurence Whitehead, Transisi Menuju Demokrasi Kasus Eropa Selatan, Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi Dan Sosial, Jakarta, 1992Larry, Diamond, Revolusi Demokrasi Perjuangan Untuk Kebebasan Dan Pluralisme Di Negara Sedang Berkembang, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1994

Ismail Suny, Pembagian Kekuasaan Negara, Aksara Baru, Jakarta, 1985

Jimly Asshiddiqie, Konsolidasi Naskah Perubahan Keempat Undang Undang Dasar 1945

Paul Eidelberg, The Philosophy Of The American Constitution, The Free Prees, New York, 1968

Soetiksno, Filsafat Hukum Bagian 2, Jakarta:PT Pradnya Paramita, 2003

Sri Soemantri. 1981. Pengantar Perbandingan Antar Hukum Tata Negara, CV. Rajawali, Jakarta, 1981

Undang-undang no 22 tahun 2003 tentang susunan kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD

Undang-Undang Dasar 1945

Dan beberapa sumber dari internet



[1] Sri Soemantri, Pengantar Perbandingan Antar Hukum Tata Negara, CV. Rajawali, Jakarta, 1981,h.69

[2] - Kecuali Negeri Belanda yang sebutan untuk majelis pertama (erste kamer) adalah majelis tinggi, sedangkan majelis kedua (tweede kamer) adalah majelis rendah. Diberbagai negara majelis tinggi ini diberi nama yang khas seperti House of Lords (Inggris), Dewan Negara (Malaysia), National Council (Afrika Selatan), Bundesrat (Jerman), Rajya Sabha (india), Sanggi-in (Jepang).

[3] Beberapa negara yang tadinya menganut sistem bikameral telah beralih ke unikameral yaitu Selandia Baru (1950), Denmark (1953), Swedia (1971). Namun ada juga yang tadinya unikameral berubah ke bikameral seperti Comorros (1992) dan tentunya Indonesia sendiri.

[4] Giovanni Sartori dalam bukunya yang berjudul Comparative Constitutional Engineering: An Inquiry into Structures, Incentives, and Outcomes dan Douglas V. Verney dalam artikelnya berjudul Parliamentary Government And Presidential Government

[5] Arend Lijphart: 1999, hal. 203-205

[6] Ibid hal .206

[7] Undang-undang no 22 tahun 2003 tentang susunan kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD pasal 42-46

[8] UUD 1945 dan Undang-undang no 22 tahun 2003 tentang susunan kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD pasal 42-46

[9] Larry, Diamond, Revolusi Demokrasi Perjuangan Untuk Kebebasan Dan Pluralisme Di Negara Sedang Berkembang, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1994, h.7

[10] Guilermo O’Donnel, Philippe C Schmitter, Laurence Whitehead, Transisi Menuju Demokrasi Kasus Eropa Selatan, Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi Dan Sosial, Jakarta, 1992, h. 222

[11] Alexis de Tocqueville, Democracy In America, Washington Square Press, New York, 1965, h.90

[12] Article 1, Section 1, The Constitution Of United States Of America

[13] Jimly Asshiddiqie, Konsolidasi Naskah Perubahan Keempat Undang Undang Dasar 1945, h. 42-45

[14] Ismail Suny, Pembagian Kekuasaan Negara, Aksara Baru, Jakarta, 1985, h.1-4.

[15] Burns, Peltason, Cronin, Government By The People, Prentice Hall, New Jersey, 1989, h.23

[16] Jimly Asshiddiqie, Konsolidasi Naskah Perubahan Keempat Undang Undang Dasar 1945, h.5.

[17] Ibid, h.63

[18] Paul Eidelberg, The Philosophy Of The American Constitution, The Free Prees, New York, 1968, h.54

[19] Microsoft ® Encarta ® Reference Library 2003. © 1993-2002

[20] Ismail Suny, Pembagian Kekuasaan Negara, Aksara Baru, Jakarta, 1985, h.1-4.

[21] Amerika Serikat, Konstitusi Amerika Serikat

[22] Microsoft® Encarta® Reference Library 2003. © 1993-2002 Microsoft Corporation. All rights reserved.

[23] Soetiksno, Filsafat Hukum Bagian 2, Jakarta:PT Pradnya Paramita, 2003