TUGAS ANTROPOLOGI HUKUM
STUDY KASUS
A. DESKRIPSI KASUS
Di daerah semarang, terjadi pernikahan antara Syekh puji umur 44 tahun dengan seorang wanita bernama Ulfa umur 12 tahun. Pernikahan tersebut dilakukan secara agama(dibawah tangan), dengan disetujui oleh kedua belah pihak, termasuk keluarga Ulfa, bahkan si Ulfa pun mengatakan senang menjadi istri dari syekh puji.
B. PERMASALAHAN
Sistem perkawinan di indonesia, diatur dalam beberapa undang-undang, diantaranya adalah diatur dalam undang-undang no. 1 tahun 1974 dan kompilasi hukum islam. Dalam study kasus disini yang dipermasalahkan adalah keabsahan dari perkawinan antara syekh puji dan ulfa tersebut, yang kami spesifikkan terutama berhubungan dengan batasan umur, mengingat Ulfa pada saat ini masih berusia 12 tahun.
C. ANALISIS
1. Menurut Kajian Antropologi
Perkawinan menurut antropologi di devinisikan antara lain oleh beberapa pakar antara lain:
a. Haviland
perkawinan merupakan suatu pengukuhan hubungan antara seorang pria dengan seorang wanita untuk mengukuhkuan hubungan mereka termasuk hubungan seks.
Sedangkan fungsi perkawinan adalah:
a. Mangatur kelakuan manusia yang bersangkut paut dengan kehidupan seks nya.
b. Memberikan ketentuan hak dan kewajiban serta perlindungan kepada hasil persetubuhan (anak-anak).
c. Memenuhi kebutuhan manusia akan seorang teman hidup.
d. Memenuhi kebutuhan manusia akan harta, gengsi dan naik kelas dalam masyarakat.
e. Memelihara hubungan baik antar keluarga(keluarga suami dankeluarga istri)
Sedangkan fungsi keluarga adalah:
a. Fungsi reproduksi
Maksudnya adalah dalam keluarga, suami istri melahirkan anak-anak merupakan wujud cinta kasih dan tanggung jawab melanjutkan keturunan.
b. Fungsi sosialisasi
Maksudnya adalah peran keluarga dalam membentuk kepribadian anak agar sesuai dengan harapan orang tua dan masyarakat. Keluarga sebagai wahana sosialisasi primer harus menanamkan nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat.
c. Fungsi afeksi
Maksudnya adalah dalam keluarga perlu kehangatan kasih sayang.
d. Fungsi ekonomi
Maksudnya adalah orang tua mempunyai kewajiban untuk memenuhi kebutuhan keluarga.
e. Fungsi proteksi
Maksudnya adalah agar merasa aman dalam keluarga
f. Fungsi pengawasan sosial
Maksudnya adalah dalam keluarga perlu saling menjaga
g. Fungsi perubah status
Maksudnya adalah melalui perkawinan seseorang akan mendapatkan status yang baru dalam masyarakat
h. Fungsi pengendalian hubungan seksual
Maksudnya adalah dengan perkawinan, hal-hal yang berhubungan dengan seksual akan terkendali
Dalam paparan dari para ahli mengenai devinisi perkawinan sama sekali tidak menyangkut masalah umur, namun jika kita melihat lebih jauh mengenai fungsi perkawinan dan keluarga, maka hal tersebut menyiratkan adanya hal-hal yang bersifat kompleks dalam kehidupan keluarga, sehingga dibutuhkan suatu kondisi dimana para mempelai baik itu pihak laki-laki maupun perempuan mempunyai kesiapan mental dan kedewasaan. Namun demikian masing-masing adat mempunyai deskripsi yang berbeda mengenai “kedewasaan” tersebut, dalam islam misalnya dikenal dengan istilah baligh dengan parameter pernah menstruasi untuk wanita dan “mimpi basah” pada laki-laki, yang pada umumnya untuk wanita adalah 9 tahun dan 15 tahun untuk laki-laki. Namun hal ini tidak dapat dijadikan alasan pemboleh untuk melakukan perkawinan, karena islam menjunjung tinggi kemaslahatan, dan menurut islam pula, kewajiban-kewajiban sebagai seorang istri sangatlah berat, sehingga hanya dapat dilakukan oleh orang dewasa. Sedangkan mengenai pernikahan antara nabi muhammad SAW dengan siti aisyah yang pada saat itu masih berusia 7tahun itu merupakan hal yang berbeda, karena menurut sejarah, nabi muhammad melakukan pernikahan dengan siti aisyah bukan karena unsur-unsur “biasa” yang menjadi alasan seorang melakukan pernikahan, tapi lebih kepada unsur maslahat.
Beberapa hal diatas ditambah dengan kurangnya pengetahuan dari masyarakatlah yang akhirnya menyebabkan masyarakat memandang pernikahan dibawah umur(menurut batasan undang-undang no. 1 tahun 1974) tidak menjadi persoalan. Apabila kita melihat masalah kemampuan dari kedua mempelai dari sudut pandang kepantasan dan kemampuan menjalankan fungsi-fungsin perkawinan dan keluarga diatas, maka kita dapat melihat dan menilai, apakah mampu seseorang yang masih berusia 12 tahun menjalankan fungsi tersebut.
2. Menurut Kajian Hukum
Menurut hukum yang berlaku indonesia, terdapat dua undang-undang pokok yang mengatur tentang segala hal mengenai perkawinan, yaitu diatur dalam undang-undang no. 1 tahun 1974 dan kompilasi hukum islam.
Yang dimaksud perkawinan menurut undang-undang no. 1 tahun 1974 adalah “Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Mahaesa[1]”. Sedangkan menurut kompilasi hukum islam adalah “Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mitssaqan ghalidzan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah[2]”.
Sedangkan sah-nya perkawinan menurut pasal 4 KHI jis pasal 2 ayat 1 undang-undang no. 1 tahun 1974 yaitu apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaanya. Sehingga dalam hal ini ketika syekh puji menikahi ulfa secara agama, maka sudah sah. Namun dalam KHI pasal 5 ayat satu menyebutkan bahwa ”Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam setiap perkawinan harus dicatat”. Hal ini menunjukkan bahwa dalam kajian hukum islam pun dengan lebih mengedepankan unsur maslahat, maka terdapat kewajiban untuk orang yang menikah muntuk mencatatkan perkawinannya itu, dan karena dalam pasal ini terdapat kata “harus”, maka hal ini menjadi salah satu syarat sah nya perkawinan, dengan tidak mengurangi aturan-aturan agama mengenai syarat-syarat sah perkawinan.
Mengenai batasan umur dalam melakukan perkawinan, telah diatur dalam undang-undang yaitu dalam pasal 7 ayat 1 yang berbunyi “Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun” sehingga perkawinan tersebut seharusnya harus dibatalkan karena tidak sesuai dengan aturan hukum yang berlaku. Namun pada kenyataannnya kedua belah pihak, termasuk keluarganya tidak ada yang mencegah perkawinan tersebut.
Hukum keluarga adat merupakan salah satu hukum yang diakui negara dan bahkan dilindungi oleh hukum yang salah satunya mengenai perkawinan, pengakuan ini tersirat dari adanya pasal 4 KHI jis pasal 2 ayat 1 undang-undang no. 1 tahun 1974 yang menyatakan bahwa suatu perkawinan sah apabila dilakukan menurut agama dan kepercayaanya. Namun demikian untuk perkawinan anak dibawah umur, negara mempunyai kepentingan untuk ikut campur tangan dalam hal ikhwal boileh tidaknya hal tersebut dilakukan karena telah ada undang-undang no. 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak sehingga negara berkewajiban untuk melindungi warga negaranya dalam hal ini anak dari segala hal-hal yang merugikan anak tersebut dengan pertimbangan dasar atas asas “kepentingan terbaik untuk anak”.
Walaupun asas perjanjian perkawinan merupakan perjanjian konsensuil yaitu didasarkan atas kesetujuan kedua belah pihak, namun dalam hal-hal tertentu terutama dalam hal pencegahan perkawinan[3] maupun pemmbatalan perkawinan, pihak ketiga dalam hal ini negara berhak untuk ikut campur dalam urusan itu. Hal ini telah diatur dalam beberapa pasal mengenai perkawinan yaitu:
1. Pasal 64 Kompilasi Hukum Islam
Yang menyatakan bahwa “Pejabat yang ditunjuk untuk mengawasi perkawinan berkewajiban mencegah perkawinan bila rukun dan syarat perkawinan tidak terpenuhi”
Pejabat dalam hal ini adalah instrumen pemerintah yang bertugas untuk mengawasi perkawinan yang terjadi dalam masyarakat, sedangkan yang dimaksud dengan syarat dan rukun perkawinan adalah syarat dan rukun yang diatur menurut agama dan kepercayaanya dan hukum, salah satunya adalah larangan menikah untuk wanita yang belum berusia 16tahun.
2. Pasal 71 huruf d Kompilasi Hukum Islam
Yang menyatakan bahwa salah satu perkawinan yang dapat dibatalkan adalah apabila perkawinan tersebut merupakan “perkawinan yang melanggar batas umur perkawinan sebagaimana ditetapkan dalam pasal 7 Undang-undang-undang No.1. tahun 1974”.
3. Pasal 73 huruf c
Yang menyatakan bahwa pihak yang dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan adalah “Pejabat yang berwenang mengawasi pelaksanaan perkawinan menurut Undang-undang”
4. Pasal 73 huruf d
Yang menyatakan bahwa pihak yang dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan adalah “para pihak yang berkepentingan yang mengetahui adanya cacat dalam rukun dan syarat perkawinan menurut hukum Islam dan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana tersebut dalam pasal 67”
Selain diatur dalam Kompilasi Hukum Islam, pencegahan dan pembatalan perkawinan oleh pihak ketiga ini juga telah diatur dalam undang-undang no. 1 tahun 1974 tentang perkawinan yaitu:
1. Pasal 14 ayat 1 dan 2 yang menyatakan bahwa “(1)Yang dapat mencegah perkawinan ialah para keluarga dalam garis keturunan lurus keatas dan kebawah, saudara, wali nikah, wali, pengampu dari salah seorang calon mempelai dan pihak-pihak yang berkepentingan; (2) Mereka yang tersebut pada ayat (1) pasal ini berhak juga mencegah berlangsungnya perkawinan apabila salah seorang dari calon mempelai berada di bawah pengampuan, sehingga dengan perkawinan tersebut nyata-nyata mengakibatkan kesengsaraan bagi calon mempelai yang lainnya, yang mempunyai hubungan dengan orang-orang seperti tersebut dalam ayat (1) pasal ini”.
2. Pasal 16 ayat 1 yang menyatakan bahwa “Pejabat yang ditunjuk berkewajiban mencegah berlangsungnya perkawinan apabila ketentuan-ketentuan dalam Pasal 7 ayat (1), Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10 dan Pasal 12 Undang-undang ini tidak dipenuhi”.
3. Pasal 22 yang menyatakan bahwa “Perkawinan dapat dibatalkan, apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan”.
4. Pasal 23 huruf d yang menyatakan bahwa pihak yang dapat mengajukan pembatalan perkawinan salah satunya adalah “Pejabat yang ditunjuk tersebut ayat (2) Pasal 16 Undang-undang ini dan setiap orang yang mempunyai kepentingan hukum secara langsung terhadap perkawinan tersebut, tetapi hanya setelah perkawinan itu putus”
Selain daripada itu, bahwa konsep dasar perkawinan adalah suatu perjanjian, maka kita pun harus mengkajinya dari syarat-syarat sah nya suatu perjanjian. Syarat sah perjanjian diatur dalam BW (Burgelijk Wetboek) atau biasa juga disebut dengan KUHPerdata (Kitab Undang-Undang Hukum Perdata) yaitu dalam buku III tentang perikatan pasal 1320 yang menyebutkan:
1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya
2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan
3. Suatu hal tertentu
4. Suatu sebab yang halal
Jika dilihat dari syarat-syarat ini, maka yang sangat berhubungan dengan kajian kami adalah faktor “kecakapan”. Kecakapan untuk melakukan suatu perjanjian perkawinan adalah 16 tahun untuk seorang wanita, sehingga dalam kasus ini, Ulfa .yang masih berusia 12 tahun belum cakap untuk melakukan suatu perjanjian perkawinan. Jadi ulfa masih dalam pengampuan.
Dalam hukum perikatan, syarat kecakapan merupakan syarat subyektif yang berkonsekwensi “dapat dibatalkan. Mekanisme pembatalan ini telah diatur dalam undang-undang yaitu melalui pengadilan seperti yang telah diatur dalam pasal 38 huruf c undang-undang no 1 tahun 1974 jo pasal 113 kompilasi hukum islam.
Setelah perkawinan mereka putus, bagaimanakah status ulfa? Dalam pasal 41 huruf a undang-undang no 1 tahun 1974 jo pasal 76 kompilasi hukum islam telah mengatur bahwa anak akan dikembalikan kepada orang tuanya. Sehingga hak pengasuhan anak akan dikembaliakn lagi pada kedua orangtuanya. Hal dilakukan semata-mata demi kepentingan terbaik bagi anak[4].
Anak penting dilindungi karena anak merupakan tunas, potensi, dan generasi muda penerus cita-cita perjuangan bangsa, memiliki peran strategis dan mempunyai ciri dan sifat khusus yang menjamin kelangsungan eksistensi bangsa dan negara pada masa depan. Untuk itulah akhirnya lah akhirnya lahir undang-undang no 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak yang menterjemahkan perlindungan anak sebagai segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
Prinsip perlindungan anak dalam pasal 2 undang-undang no 22 tahun 2002 tentang perlindungan anak adalah:
a. Non diskriminasi
b. Kepentingan terbaik bagi anak
c. Hak untuk hidup, kelangsungan hidup dan perkembangan
d. Penghargaan terhadap pendapat anak.
Terkait dengan perkawinannya dengan syekh puji maka tanggungan pengasuhan dan sebagainya akan berpindah dari orang tuanya kepada syekh puji, hal ini sebetulnya merugikan bagi si anak tersebut karena kami perpandangan bahwa ulfa belum tahu apa-apa sedangkan menurut undang-undang no 22 tahun 2002 pasal 14 menyatakan bahwa “Setiap anak berhak untuk diasuh oleh orang tuanya sendiri, kecuali jika ada alasan dan/atau aturan hukum yang sah menunjukkan bahwa pemisahan itu adalah demi kepentingan terbaik bagi anak dan merupakan pertimbangan terakhir”, sehingga keputusan kedua orang tua ulfa dalam memberikan persetujuan atas perjanjian pernikahan ini adalah salah, karena melihat tugas dan kewajiban seorang istri dalam suasana rumah tangga sangatlah berat dan perkrmbangan psikologis anak berusia 12 tahun belumlah cukup dapat menghadapi itu.
Seharusnya orang tua ulfa paling tidak melakukan kewajiban-kewajibannya sebagaimana yang telah ter-rumuskan dalam pasal 26 ayat 1 undang-undang no 22 tahun 2002 tentang perlindungan anak yaitu:
a. mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi anak;
b. menumbuhkembangkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat, dan minatnya; dan
c. mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak.
Dan apabila dalam hal ini seperti yang telah diketahui bahwa orang tua ulfa justru menyetujui perjanjian pernikahan ini maka negara lah yang harus bertanggung jawab dalam melindungi anak[5]. Dan negara pula dapat memberikan sanksi kepada pelaku dengan berdasar pada pasal 66 ayat 2 huruf b undang-undang no 22 tahun 2002 tentang perlindungan anak.
D. KESIMPULAN
Anak merupakan generasi penerus bangsa dan aset negara, untuk itu perlu dilindungi dari hal-hal yang mengakibatkan perkembangan anak terganggu salah satunya adalah pernikahan yang belum cukup umur. Dan negara berhak untuk ikut campur dalam urusan perkawinan walaupun sebenarnya perjanjian perkawinan adalah merupakan perjanjian konsensuil, hal ini dilakukan demi kepentingan terbaik bagi anak.
Walaupun secara hukum adat dan hukum islam memperbolehkan anak perempuan berumur 12 tahun menikah, namun dalam masyarakatpun melalu hukum adat dan hukum agama telah memberikan aturan-aturan juga mengenai kewajiban-kewajiban seorang istri dalam keluarga dan hal tersebut sulit dilakukan olelh anak yang masih berusia 12 tahun, sehingga sebenarnya hukum adat dan hukum agama pun secara tersirat telah melarang adanya pernikahan di bawah umur.
Dalam hukum negara dalam hal ini adalah undang-undang telah melarang dengan keras adanya pernikahan dibawah umur ini, antara lain terdapat dalam undang-undang no 22 tahun 2002 tentang perlindungan anak, undang-undang no 39 tahun 1999 tentang hak asasi manusia, undang-undang no 1 tahun 1974, dan kompilasi hukum islam.
Perkawinan merupakan salah satu bentuk perjanjian, untuk itu perlu dilihat pula syarat-syarat sahnya perjanjian, salah satunya adalah kecakapan, dalam hal perjanjian perkawinan, seorang wanita dianggap cakapm ketika telah mencapai umur 16 tahun. Namun kecakapan ini bukanlah merupakan syarat obyektif yang berkonsekwensi batal demi huikum, namun merupakan syarat subyektif yang berkonsekwensi dapaat di batalkan.
Mekanisme pembatalan perkawinan ini adalah melalui pengadilan agama setempat (karena dalam kasus ini para pihak adalah orang islam), mengenai siapa yang berhak mengajukan pembatalan, dalam undang-undang telah diatur bahwa bukan hanya kedua belah pihah yang berhak, namun juga negara atau orang lain yang mengetahui bahwa perkawinan tersebut tidak memenuhi syarat secara agama maupun secara hukum.
Selanjutnya apabila telah terjadi pembatalan perkawinan, menurut undang-undang telah diatur pula bahwa si anak akan dikembalikan pada orang tuanya. Sekali lagi hal ini adalah untuk kepentingan terbaik bagi anak.
[1] Undang-undang no. 1 tahun 1974 tentang perkawinan pasal 1
[2] Kompilasi hukum islam pasal 2
[3] Ibid pasal 60 ayat 2” Pencegahan perkawinan dapat dilakukan bila calon suami atau calon isteri yang akan
melangsungkan perkawinan tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan menurut hukum Islam dan peraturan Perundang-undangan” sedangkan tujuannya diatur dalam ayat 1 “Pencegahan perkawinan bertujuan untuk menghindari suatu perkawinan yang dilarang hukum Islam dan Peraturan Perundang-undangan”. Hal ini juga diatur dalam pasal 13 undang-undang no. 1 tahun 1974 yang menyatakan bahwa “Perkawinan dapat dicegah, apabila ada pihak yang tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan”.
[4] Kepentingan terbaik bagi anak ini diterjemahkan dalam beberapa undnag-undang, diantaranya menurut pasal 55 undabg-undang no 39 tahun 1999 tentang hak asasi manusia yang menyatakan bahwa “setiap anak berhak untuk beribadah menurut ajgamanya, berpikir, dan ber-ekspresi sesuai dengan tingkat intelektualitasnya dan usianya dibawah bimbingan orang tua dan atau wali” dengan demikian Hak anak adalah bagian dari hak asasi manusia yang wajib dijamin, dilindungi, dan dipenuhi oleh orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah, dan negara.
[5] Dalam pasal 26 ayat 2 undang-undang no 22 tahun 2002 disebutkan bahwa “Dalam hal orang tua tidak ada, atau tidak diketahui keberadaannya, atau karena suatu sebab, tidak dapat melaksanakan kewajiban dan tanggung jawabnya, maka kewajiban dan tanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat beralih kepada keluarga, yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku” apabila diduga si anak perpotensi ter eksploitasi secara seksual maka diatur pula dalam pasal 59 yaitu “Pemerintah dan lembaga negara lainnya berkewajiban dan bertanggung jawab untuk memberikan perlindungan khusus kepada anak dalam situasi darurat, anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak tereksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (napza), anak korban penculikan, penjualan dan perdagangan, anak korban kekerasan baik fisik dan/atau mental, anak yang menyandang cacat, dan anak korban perlakuan salah dan penelantaran”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar